"Mommy!"
Mentari menghampiri perempuan cantik berambut panjang yang sedang membuat kue di dapur. Namanya Kirana, perempuan asli Indonesian yang menikah dengan orang Australia, yaitu Dave, Ayah Mentari.
"Assalamualaikum, Ade. Kebiasaan deh gak ngucapin salam sebelum masuk."
Mentari memeluk Kirana. Menghirup aroma parfum vanilla dari tubuh Kirana. "Hehe, maaf, Mom. Aku lupa."
"Jangan di ulangin lagi ya." Ujar Kirana yang langsung dibalas anggukan oleh Mentari. "Kamu pulang sama siapa, De? Sama Abang atau sama Ayah?"
Mentari melengkungkan bibirnya dengan sempurna. "Gak sama dua-duanya, Mom."
Kirana menyerit, bingung. "Loh terus kamu sama siapa? Naik angkot?
Mentari menggeleng. "Enggak." Mentari tersenyum malu. Kemudian ia berjalan ke arah kulkas dan mengambil jus alpukat yang selalu disiapkan Kirana. "Ade bareng Kakak Kelas Mom, kebetulan rumahnya searah sama Ade."
Kirana tersenyum melihat gelagat putrinya semata wayangnya. Ia tahu siapa yang dimaksud Kirana. "Angkasa ya? Yang sering kamu ceritakan ke Mommy?"
"Ih kok Mommy tau sih.." Mentari duduk di kursi. Ia menatap Kirana malu-malu, seakan baru saja ketahuan melakukan hal yang memalukan.
"Tau dong, Mommy gitu. Siapa lagi coba yang bisa bikin anak Mommy senyum tiga jari kaya gitu kalo bukan Angkasa." Kirana sendiri sebenarnya mengenal Angkasa, lebih tepatnya orang tua Angkasa sebab, orang tua Angkasa merupakan salah satu kolega bisnis Dave.
"Mom jangan bilang Bang Fajar ya. Nanti dia cerewet, malah ngadu ke Daddy lagi." Mentari menengak jusnya, kemudian menatap Kirana, memohon agar kejadian itu dirahasiakan.
"Apaan yang gak boleh di bilangin ke Abang?" suara Fajar, tiba-tiba saja terdengar, Fajar muncul dari balik pintu dapur, diikuti dengan sosok berjas yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dave, Ayah Mentari.
"Mommy..." Mentari berlari memeluk Kirana. Berusaha agar Kirana berada dipihaknya. "Mom, jangan kasih tahu Abang ya, please..."
"Daddy pulang kok malah Mommynya sih yang di peluk." Dave angkat bicara. Ia merentangkan tangannya begitu Mentari berlari ke arahnya dan memeluknya. "Putri kecil, Daddy sekarang main rahasia-rahasiaan ya." Dave mencubit hidung Mentari.
"Aku udah besar, Dad! Lagian ini adalah masalah perempuan. Jadi, Daddy sama Bang Fajar gak boleh tahu. Tempe aja mendingan, enak." ujar Mentari dengan senyum tiga jari andalannya.
"Dasar bocah ngasalan! Makan tempe aja gak pernah, sok-sokan bilang tempe enak." Cibir Fajar yang kini berada di samping Kirana. Baik Mentari maupun Fajar memang sangat dekat dengan kedua orangtuanya. Mereka terbiasa bercengkerama ketika sore hari, di saat sekolah maupun pekerjaan kantor telah selesai dilaksanakan.
"Biarin sih. Suka-suka aku dong. Daripada Bang Fajar, sama durian masa takut." Mentari menjulurkan lidahnya, meledek. Fajar memang phobia dengan durian semenjak ia berada di taman kanak-kanak. Alasannya karena pernah sewaktu Fajar bermain dibawah pohon durian, ia melihat seorang anak tertimpa durian hingga pingsan. Semenjak itu Fajar jadi enggan melihat buah dengan aroma menyengat itu. Kalaupun di toko buah, Fajar pasti akan lari keluar jika ia melihat buah durian.
"Udah, mendingan kalian mandi terus siap-siap sholat Ashar terus makan. Mommy udah masak makanan kesukaan kalian loh." Kirana yang sedari tadi memperhatikan interaksi suami dan kedua anaknya, akhirnya angkat bicara.
"Siap, bos!" ujar mereka serempak.
***
"A log b ditambah a log c sama dengan a log b dikali c. A log b di kurang a log c sama dengan a log b dibagi c. A log b pangkat a sama dengan..." Mentari terus merapalkan rumus matematika yang harus di kuasainya minggu ini. Guru matematika Mentari sangat tegas dan tidak mentolerir murid yang tidak hafal. Ia akan menyuruh murid tersebut menulis rumus lima ratus kali jika ada murid yang ketahuan tidak hafal rumus.
"Ah susah banget sih! Mending juga bangun ruang deh, gampangan dikit." Mentari mendesah malas. Selesai makan sampai dengan sekarang, jam sepuluh malam, Mentari terus menghafalkan sepuluh rumus logaritma, namun tetap saja otaknya bebel. Hanya lima rumus yang mampu di hafal Mentari.
"Kalo ngehafalnya kayak gitu, gimana mau hafal."
Mentari membalikkan badannya, menatap Fajar yang sedang bersandar di daun pintu. "Ngapain ke sini sih. Sana balik ke kamar, jangan ganggu princess belajar."
Fajar berjalan menghampiri Mentari. "Logaritma mah gampang. Sini Abang ajarin, tapi temenin ke cafe bentar dong. Urgent, nih. Sekalian nanti Abang traktir cheesecake deh."
"Giliran ada maunya aja, kesini. Dasar Kakak durhaka." Dengan malas Mentari mengambil sweater nya. "Mau ngapain sih, emangnya?"
Fajar nyengir. "Nyamperin cewek Abang. Daddy bakalan curiga kalo Abang jalan sendiri, kalo sama kamu kan Daddy pasti percaya kalo Abang alasan mau ke toko buku."
"Anjir jadi obat nyamuk lagi." Mentari memang sering menemani Fajar bertemu dengan pacarnya, Laras yang bekerja partime di cafe dekat rumahnya. Sebenarnya Fajar bukannya tidak dibolehkan pacaran, hanya saja Fajar tidak ingin Ayahnya menjadi khawatir akan kuliah Fajar terganggu karena lebih banyak waktu untuk pacaran.
"Nolongin Abang sendiri pahalanya gede loh. Buruan rapi-rapi biar gak kemaleman baliknya."
"Bawel nih. Bentar dulu jedai ade ilang." Mentari mencari-cari jedai kesayangannya yang berwarna ungu. Setelah ketemu, ia berlari menyusul Fajar yang menunggunya di lantai bawah.
"Ayo." ajak Mentari begitu dilihatnya Fajar duduk di ruang santai. "Udah izin ke Daddy, Kan?
"Udah. Kata Daddy, Ade disuruh beli kamus baru."
"Anjir kan cuma bohongan ke toko bukunya. Gimana kalo pulang gak bawa kamus, Daddy pasti curiga."
Fajar tersenyum misterius. Ia merangkul Mentari dan mengajaknya segera pergi. "Abang bawa kamus baru kok. Jadi tenang aja, kamu terima beres pokoknya."
"Wah, daebak! Bang Fajar emang penipu ulung!" ujar Mentari yang dibalas jitakan oleh Fajar.
Mereka berdua memasuki mobil dan begerak menuju salah satu cafe ternama di daerahnya.
Ketika mobil yang di kendarai, Fajar berhenti di lampu merah. Mentari seperti melihat orang yang dikenalnya.
Itu Langit, bukan sih?
Mentari menyipit, memperhatikan seorang cowok yang tengah membonceng seorang cewek berseragam SMA Venus.
"Lo lagi liat apa sih, de? Kok kayaknya serius banget?"
Mentari menoleh ke arah Fajar. "Gue lagi liat orang yang waktu itu nolongin gue, Bang. Yang pas gue kejambret."
"Yang mana?"
"Itu yang pake motor ninja item." Mentari menunjuk motor yang berada tak jauh dari mobilnya.
"Yang bonceng cewek?"
Mentari mengganguk, mengiyakan. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa cewek yang di bonceng Langit? Bukannya cowok di SMA Galaxy itu bermusuhan dengan SMA Venus?
Mungkin pacarnya.
Ya, mungkin saja. Toh Langit memang cukup ganteng, jadi wajar kalau ia sudah punya pacar. Iya wajar lagian cewek yang diboncengnya juga cantik kok. Cocok sama Langit.
Lampu merah sudah berganti menjadi hijau, sosok yang Mentari lihat tadi kini sudah pergi entah kemana. Mentari tidak perduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possesive Badboy
Teen FictionHighest Rank : #5 in Fiksi Remaja #17 in Remaja #27 in Teen Fiction "Maksud lo apa, Lang?" "Gak maksud apa-apa." "Terus kenapa lo bilang ke Arga kalo gue pacar lo?" Mentari terlihat kesal. Namun Langit malah bersikap biasa saja. "Oh, itu.. Em...