[5] Pertanyaan Pertama

46.3K 3.1K 52
                                    

Mentari duduk di bangku yang telah disediakan sekolahnya untuk para murid yang menunggu jemputan. Hanya ada lima orang yang sedang menunggu jemputan. Satu laki-laki dan empat orang perempuan, termasuk Mentari.

Mentari mengarahkan pandangannya kedepan. Ada segerombolan siswa sekolahnya yang berlari kearahnya dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Wajah lebam dan darah yang mengalir dari pelipis hingga sudut bibir mereka.

  "WOY BURUAN MASUK!"

Mentari terhenyak ketika Adnan—Kakak Kelasnya—berteriak menyuruh agar mereka yang duduk menunggu jemputan, masuk ke dalam lingkungan sekolah.

  "SMA Venus otw kesini. Lo semua buruan ngumpet. Jangan pada keluar sebelum gue perintahin."

Kalau saja ini bukan dalam kondisi genting, Mentari akan membalas perkataan Adnan yang kesannya ngatur. Tapi berhubung ini sudah siaga tiga, akhirnya Mentari memilih ikut masuk ke lingkungan sekolah, bersembunyi di salah satu ruangan. Ia bersembunyi di lab bahasa bersama dengan murid yang lainnya, sementara itu Adnan dan gerombolannya berjaga di depan gerbang khusus. Mereka bersiap melawan gerombolan SMA Venus yang merupakan musuh bebuyutan SMA Galaxy.

Mentari menghela nafas, ia tidak membawa handphone. Seminggu yang lalu handphonenya di jambret orang dan Ayahnya belum membelikannya handphone baru karena nilai ujian matematika Mentari yang turun drastis. Sungguh, ini adalah kesialan sempurna yang pernah ada dalam hidup Mentari.

Hah. Demi semua ubur-ubur yang ada dibikini buttom, Mentari mengutuk orang-orang yang menyebabkan dirinya harus terjebak dalam keadaan seperti ini. Berantem, tawuran dan semacamnya adalah hal yang paling dihindari oleh Mentari. Mentari tidak bisa melihat orang terluka. Terlebih luka fisik.

  "Langit juga ikut katanya. Malah dia yang jagain gerbang utama." ujar Siswi yang berada disebelah kanan Mentari. Ia sedang menunjukkan sesuatu dihandphone nya kepada temannya.

  "Langit emang keren banget anjir! Udah ganteng, kaya, terus juga jago berantem lagi. Gue mau banget kalo diajak pacaran sama dia." balas siswi yang satunya lagi.

  "Iya, gue denger juga Langit nolongin Adit yang ditawan Venus sendirian. Dia nyamperin ke SMA Venus dengan tangan kosong njir! Keren banget!"

Keren dari hongkong. Pembuat onar kayak gitu malah dibilang keren. Dasar cewek. Mentari mendengus dalam hati. Baginya cowok yang suka tawuran itu gak  keren sama sekali, malah justru cowok seperti itu adalah hal yang harus dihindari. Lebih baik cowok yang pintar, tidak banyak tingkah, seperti Angkasa misalnya, eh?

  "Ya Allah tolongin Mentari, Ya Allah. Mentari pengen pulang, Mentari laper pengen makan ayam goreng masakan Mommy." Mentari mengadahkan tangannya keatas, berdoa dengan sungguh-sungguh meski ucapannya melantur.

Dua jam menunggu tawuran selesai, akhirnya Adnan datang ia memberitahu kalau gerombolan siswa SMA Venus sudah pergi. Dengan senang hati Mentari keluar dari persembunyiannya, berjalan menuju gerbang khusus yang kini sudah ramai oleh gerombolan cowok yang habis tawuran. Keadaan mereka sangat tidak baik, Mentari dapat memastikan sembilan puluh sembilan persen cowok-cowok itu terkena pukulan balok kayu yang dilihatnya berserakan di depan gerbang khusus.

Mentari menghampiri salah satu cowok yang kelihatan paling parah dari yang lainnya. Ia berjongkok, mengeluarkan kotak P3K. Ia membantu cowok itu untuk mengobati lukanya. Setelah selesai, Mentari membereskan peralatannya, ia sempat menawarkan diri untuk mengobati yang cowok yang lainnya, namun cowok-cowok itu berkata bahwa mereka baik-baik saja.

Mentari bangun, hendak berjalan menuju kursi tunggu. Namun sebuah suara menghentikannya.

  "Mentari?"

Mentari menatap cowok yang berada di depannya. Dia adalah Langit, cowok yang waktu itu membantunya mengejar jambret meski akhirnya mereka kehilangan jejak jambret itu karena ulah Mentari.

  "Eh, Langit ya? Yang waktu itu nolongin gue pas kejambretan?" ujar Mentari, matanya menatap kearah wajah Langit yang penuh dengan lebam.

Langit tersenyum, manis sekali hingga Mentari bertanya-tanya dalam hati bagaimana bisa cowok badboy seperti langit mempunyai senyum manis yang sangat kontras dengan wajah kerasnya?

  "Lo masih inget gue ternyata. Gue pikir lo lupa."Langit tersenyum senang mengetahui Mentari mengingatnya. "Lo mau balik? Nunggu jemputan atau naik angkot?"

  "Iya, gue nunggu Abang gue. Dikit lagi sampe deh, kayaknya." Mentari membuka tasnya, kemudian duduk dikursi yang berada tidak jauh dari tempat ia dan Langit berdiri. "Kesini bentar deh, Lang."

Langit menyerit bingung. Namun ia tetap berjalan ke arah Mentari yang kini sibuk mencari sesuatu didalam tasnya. "Kenapa?" tanya nya begitu ia duduk disamping Mentari.

Mentari membuka kotak P3K mini yang selalu dibawanya. "Luka lo harus di obatin. Bisa infeksi kalo gak cepet-cepet diobatin."

Mentari menarik tangan Langit mendekat. Tangannya terulur, menempelkan kapas yang sudah dibasahi alkohol pada luka di pelipis Langit. "Tahan dikit ya,"

Langit terdiam mengamati Mentari yang dengan telaten membersihkan dan mengobati lukanya. Cewek itu terlihat tidak terganggu dengan posisinya yang begitu dekat dengan Langit, bahkan Langit bisa mencium aroma manis dari parfum Mentari.

  "Lo udah biasa kayak gini ya?"

Mentari yang sedang menempelkan plester dipelipis Langit, refleks sedikit mundur, ia menatap Langit penuh tanya. "Maksudnya?"

  "Lo biasa nolongin orang, kayak gini? Kayak yang lo lakuin ke gue sekarang ini."

Oh. Mentari mengganguk, sambil memasukan betadine kedalam kotak P3K. "Gue gak bisa liat orang berdarah. Jadi setiap liat orang berdarah, rasanya gue pengen ngobatin lukanya biar sembuh. Makanya gue selalu bawa kotak P3K mini kemanapun buat jaga-jaga kalo seandainya gue ketemu orang yang luka, kaya lo gini."

Langit tersenyum simpul, bertambah satu hal lagi yang membuat Langit tertarik pada Mentari. "Lo mau gak jadi pacar gue?

Mentari mendengus mendengar ucapan Langit yang menurutnya super duper ngaco. "Kayaknya lo harus ke dokter deh, takutnya otak lo bermasalah."

Mentari memasukkan kotak P3K miliknya ke dalam tas. Ia memakai tas punggung berwarna abu-abu miliknya. "Gue duluan ya. Abang gue udah sampe. Bye, Langit."

Mentari berjalan cepat, meninggalkan Langit dengan hati yang campur aduk. Jujur saja ia sebenarnya gugup saat Langit berbicara seperti itu, hanya saja Mentari berusaha menganggap ucapan Langit hanyalah bercandaam semata. Mentari merutuki Abangnya yang belum juga datang menjemput, belum lagi jantungnya yang tidak bisa diajak kompromi membuat Mentari kesal sendiri. Ia salting.

Dia cuma bercanda, Mentari. Please jangan di pikirin, ujar Mentari dalam hati, menciba menyingkirkan ingatannya akan ucapan Langit.

My Possesive BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang