"Langit..." lirih Mentari masih dengan menutup matanya. Perempuan itu sedaritadi terus memanggil nama Langit. Bahkan, airmatanya mengalir dari kedua matanya yang terpejam. Sepertinya mimpi buruk hadir saat ia tidak sadar.
Mentari mengerjapkan matanya. Pandangannya sedikit buram ketika membuka mata, namun lama kelamaan matanya bisa menyesuaikan dengan cahaya pada ruangan ini. Dilihatnya ruangan yang didominasi dengan warna putih ini.
Rumah sakit?
Mentari mengedarkan pandangannya mencari sosok yang tadi di impikan olehnya.
"Langit?" teriaknya dengan suara serak. Tidak berapa lama pintu terbuka menampilkan sosok Angkasa.
"Lo udah sadar?" tanyanya saat berada disisi ranjang Mentari.
"Langit dimana, Kak? Langit baik-baik aja, kan?"
Angkasa meraih tangan Mentari dan menggenggamnya. "Lo harus kuat ya."
"Maksud Kak Angkasa apa? Langit baik-baik aja kan?" Mentari menatap Angkasa meminta penjelasan. Sedangkan yang ditatap hanya bisa menarik nafas panjang.
"Langit sampai sekarang belum ada kabar, Tar."
Entah Mentari harus bersyukur atau sedih mendengarnya. Di satu sisi ia bersyukur karena ternyata yang kemarin itu hanya mimpi. Langit tidak meninggal. Tapi disisi lain Mentari merasa sedih karena Langit belum juga kembali. Ia takut mimpinya menjadi kenyataan. Ia tidak mau kehilangan Langit.
"Gue takut, Kak... Gue mimpi Langit udah gak ada... Gue mimpi Langit meninggal.." ujar Mentari sambil menangis.
Angkasa menarik Mentari ke pelukannya. Ia mengusap pelan kepala Mentari. "Langit pasti baik-baik aja, Tar. Itu cuma mimpi, gue yakin Langit enggak kenapa-napa."
"Tapi gue takut mimpi itu jadi nyata, Kak. Gue takut Langit pergi ninggalin gue. Gue takut Langit gak ada disamping gue lagi."
Angkasa mengeratkan pelukannya. "Sst, udah jangan terlalu di pikirin. Langit bakalan baik-baik aja. Gue bakalan cari Langit sampai ketemu."
"Janji ya?"
"Iya janji. Asal lo juga janji bakalan sembuh. Gue gak suka liat lo lemah kayak gini." ujar Angkasa sambil meletakkan dagunya dipuncak kepala Mentari.
"Makasih, Kak. Gue gak tau gimana jadinya hidup gue kalo gak ada lo."
"Sama-sama. Apapun yang ngebuat lo bahagia itu juga ngebuat gue bahagia, Tar, dan sebaliknya, apapun yang ngebuat lo sedih itu juga ngebuat gue sedih. Jadi kalo lo mau balas semua kebaikan gue, cukup lo tersenyum dan bahagia aja, itu udah cukup."
Mentari melepaskan pelukannya. Ia mendongak melihat wajah Angkasa. "Maaf.. Maaf karena gak bisa bales semua perasaan lo, Kak.."
"It's okay, gue juga lagi berusaha buat ngubah perasaan ini. Gue pengen menyayangi lo layaknya perasaan Kakak ke Adeknya." Angkasa mengelus pipi Mentari. Ia sudah berjanji dalam hatinya untuk menjaga Mentari dan tidak memaksakan perasaannya. Ia ingin menyayangi Mentari layaknya ia menyayangi adiknya.
"Kalau dulu gue gak kenal Langit, mungkin lo tetep jadi sosok idaman gue, Kak. Selama gue SMA, sebenernya gue selalu merhatiin lo. Tapi sayangnya lo terlalu cuek waktu itu, jadi ya.. Gue gak berani nunjukkin diri dihadapan lo."
Angkasa tersenyum. Sebagian dari dirinya merasa senang karena Mentari pernah menyukainya meskipun semuanya kini sudah terlambat.
"Gue jadi nyesel deh, Tar."
"Makanya jangan terlalu sibuk sama dunia lo sendiri. Sekali-kali liat sekitar biar cepet dapet pasangan!" ujar Mentari sambil terkekeh pelan. Bayangan tentang kematian Langit sudah mulai menghilang dari pikirannya. Ini semua berkat Angkasa, cowok itu mampu membuatnya tersenyum kembali. Meski begitu, Mentari selalu berdoa dalam hati agar Langit segera kembali dan dalam keadaan sehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possesive Badboy
Teen FictionHighest Rank : #5 in Fiksi Remaja #17 in Remaja #27 in Teen Fiction "Maksud lo apa, Lang?" "Gak maksud apa-apa." "Terus kenapa lo bilang ke Arga kalo gue pacar lo?" Mentari terlihat kesal. Namun Langit malah bersikap biasa saja. "Oh, itu.. Em...