Cambridge, Britania Raya - 1949
Di perjalanan menuju Cambridge, dua orang kakak beradik duduk menunggu kereta dengan beberapa koper di samping mereka. Suara bising yang menggema di stasiun sudah seperti makanan sehari-hari. Tak peduli seberapa berisiknya tempat itu, menunggu tetap membuat mereka mengantuk.
Dengan buku ditangannya, salah satu dari mereka memecahkan keheningan.
BUKK!
Suara buku bersampul tebal tertutup kencang ditangan sang kakak. "Mataku mulai kabur," ucapnya.
Alih-alih bertanya ada apa dengannya, sang adik menghela nafas dan berkata,"Kau tahu kita bisa saja ikut ke Amerika," ucap sang adik.
Sang kakak menggeleng. "Perbatasan..." Ia langsung bersender ke tembok stasiun. Ditangannya ia terus memainkan sebuah liontin yang selalu bawa kemana-mana di sakunya. "Mereka akan sulit menyebrangkan kita. Aku juga berharap tidak akan terlalu lama lagi kita harus berada di sini. Aku yakin aku harus sekamar dengan si cerewet," jelasnya.
Sang adik yang paham betul kenapa sang kakak seringkali memainkan liontin itu dengan gelisah pun berusaha menghentikannya. "Sudah tiga tahun berlalu, Edmund. Kau tidak bisa hidup di masa itu selamanya," keluhnya.
Edmund menghela nafas berat dan panjang sambil menyimpan liontin itu kembali ke kotak kecil dan memasukkannya ke dalam saku. "Lucy, tolong jangan buat aku putus asa. Tahun ini adalah tahun perjalanannya. Ia akan tahu aku ada."
Untuk sesaat Lucy terdiam, namun rasa gatal ingin mengomel tidak bisa tertahan terlalu lama. "Kau ingat kata Susan, dia selalu bilang untuk menjalani realita. Ed, aku tahu kau peduli padanya tapi sedekat atau sejauh apa pun kau dengannya, belum tentu semuanya akan berakhir seperti yang kau harapkan," jelas Lucy. "Narnia akan memanggil kita lagi, tapi kau tidak bisa berharap bahwa kehidupan di sini akan terhenti."
Edmund berdecak, "Cih. Sejak kapan aku mau mendengarkan apa kata Susan."
Saat kereta tiba, mereka langsung masuk ke dalam gerbong. Dengan segera, ia mencari tempat duduk dan mengistirahatkan matanya. Edmund sempat tertidur. Di dalam mimpinya, ilusi demi ilusi tentang 'cintanya' tidak bisa berhenti menghantui. Edmund sadar kalau setelah bertahun-tahun tinggal di Narnia sebagai orang dewasa membuat hidupnya lebih sulit saat berada di sini sebagai remaja biasa. Dan saat memori itu memudar dan terasa seperti mimpi, Narnia memanggilnya kembali. Walau memori itu masih berada begitu jauh, hatinya terpanggil kembali oleh kebebasan yang Narnia berikan. Dia ingin pergi, bebas dari pemikiran orang-orang sekitarnya yang ia rasa sangat merugikan. Di dunia yang bahkan dengan teknologinya, masih tidak bisa meyakinkan Edmund untuk tinggal dan menetap. Adik dan kakak-kakaknya membuatnya makin putus asa karena untuk sesaat, dia kira dia sudah memenangkan peperangannya, namun kenyataannya, akan selalu ada pertarungan di dalam hidupnya.
Setelah cukup lama, akhirnya mereka sampai stasiun dan pergi untuk tinggal di rumah saudara mereka, keluarga Scrubb. Mereka mengetuk pintu rumah keluarga Scrubb dan dibukakan oleh bibi mereka, Alberta. Masing-masing dari mereka sudah diberikan tempat tidur tersendiri. Saat Lucy memiliki kamarnya sendiri, Edmund terperangkap setiap hari di kamar yang sama dengan saudaranya, Eustace Scrubb. Persis seperti dugaannya. Bocah yang Edmund seringkali deskripsikan sebagai 'bocah tengil', bahkan saat dirinya sendiri masih menjadi bocah tengil di masa kecilnya. Meski begitu, ia tidak punya pilihan lain.
Saat ia masuk dan berjalan ke kamar Eustace, ia mulai merapikan barang-barangnya. Menyusun baju-baju di lemari kecil kosong disudut kamar sambil mendengar suara nyaring Eustace yang mengeluh di lantai bawah. Lucy datang untuk membantunya, namun Edmund bisa merasakan kejengkelan yang Lucy rasakan dan ia bertanya, "Ada apa, Lou? Apa yang dia lakukan?"
Lucy melemparkan tubuhnya ke atas kasur Edmund dan berkata. "Ugh! Dia hanya mengeluh saat bibi Alberta bilang aku yang akan memasak makan malam sebelum dia pulang kerja setiap hari kerja," keluh Lucy.
Dia belum tahu Lucy sangat pintar memasak, pikir Edmund. Ia merasa masakan adiknya selalu enak, tapi Eustace bahkan belum pernah mencobanya tapi sudah mengeluh.
Ia mencoba menenangkan adiknya lagi. "Tenanglah. Dia akan terbiasa... mungkin... sisi baiknya kita bisa jalan-jalan di luar dan berbelanja bahan sebelum bibi Alberta pulang setelah jam bubar sekolahmu." Edmund mencoba berpikir positif demi mereka berdua selama sisa hari menjengkelkannya itu.
Keesokan harinya setelah mengantar Lucy pergi ke sekolah, Edmund menyusuri jalanan sekitar bangunan. Suasana cukup tenang meski banyak pesawat tempur yang menumpang lewat. Semua pesawat itu terbang dan kembali ke satu titik nantinya. Itu yang Edmund tahu.
Mungkin mereka menerbangkannya supaya tidak terbengkalai begitu saja setelah perang usai, pikirnya.
Saat ia melewati sebuah bangunan dengan relief dan patung di setiap sudutnya, ia langsung teringat dengan Luna. Ia teringat saat pertama kali membawanya ke ruang bawah tanah Cair Paravel berdua setelah perang Beruna usai. Luna langsung tahu yang mana patung putih berdebu milik Edmund. Ia teringat saat Luna mengelilingi dan menyelidiki patungnya, bagaimana jari-jari tangannya menari menyentuh patung itu dengan lembut. Mengingat suara Luna saat bertanya apa ia bisa setinggi dan setampan patung yang ada di hadapannya. Ingatan itu membuatnya terkekeh dan menarik perhatian beberapa orang yang melewatinya.
Membuyarkan lamunannya, seseorang menyebut namanya. Memanggilnya dari arah samping, tak jauh dari tempatnya berdiri. "Edmund Pevensie?"
Orang itu menghampiri dengan anggun. Rambut pirangnya yang panjang bersinar di bawah sinar matahari. Wajahnya begitu spesifik. Tak banyak yang ia lihat memiliki paras sepertinya sehingga Edmund mengenali wanita itu dimana saja. Namun, alih-alih bergembira, kejutan itu membuatnya panik.
"Lucille Belgrave?" ucapnya.
Teman lama yang tidak pernah ia kira akan bertemu lagi. Wanita yang pernah menaruh hati padanya sampai jadi bahan perbincangan seiisi sekolah. Tak bertemu dengannya selama beberapa tahun, yang Edmund ingat darinya selain parasnya adalah ia satu-satunya anak perempuan yang membuat Edmund ingin lari sekencang mungkin dan menghilang dari peradaban.
Wanita itu memeluknya.
Sial, pikirnya. "Eh, umm... Hai." Edmund mencoba melepaskan pelukannya.
Saat Lucille melepaskannya, wanita itu tersenyum. "Sudah lama sekali sejak kita terakhir bertemu! Bagaimana kabarmu dan yang lain?" tanyanya sok dekat.
"Um, aku dan Lucy baik, Susan dan Peter baik juga... di Amerika," jawab Edmund gugup. Kalau saja Luna melihat ini, dia akan meledak, atau bahkan mungkin menggodaku dan kabur begitu saja untuk menjahiliku. Seperti waktu itu.
"Sekarang kau tinggal di sini ya? Wah! Senangnya! Aku bertemu Eustace tadi dan dia bilang kau tinggal dirumahnya jadi mungkin kita bisa jalan-jalan bersama ya."
Saat bibirnya tersenyum, dalam hatinya yang geram ia berkata, "Hancur sudah. Hidupku hancur. Dasar bocah ingusan sialan itu, kalau saja ibunya bukan bibiku, sudah ku buang dia jauh-jauh. ARRRGGGHHH! Dia pasti ingat kejadian yang dulu."
"Umm, maaf, besok aku harus bantu Lucy dan aku harus pergi mencari... kerja. Ya! Kerja... Di kantor pos! Jadi aku akan sangat sibuk. Sangat-sangat sibuk," tolak Edmund gelagapan.
"Kalau begitu, kenapa tidak bekerja dengan ayahku? Mengantar koran ke rumah-rumah pelanggan. Ayah kan sudah kenal denganmu, dia pasti senang. Ikut aku saja, yuk!" tawar Lucille.
"Ti... Tidak, terima kasih. Aku harus pulang sekarang. Banyak hal yang harus aku lakukan. Maaf. Senang bertemu denganmu. " Edmund pamit dan berjalan pergi, berutungnya si Belgrave tidak mengikuti.
Batinnya ingin berteriak namun terlalu lelah untuk melakukannya meski hanya didalam hati, huft... Ini baru permulaan.
Baru Permulaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost In Time: Martyrs (BOOK 2 - 2024 Revision On Progress)
FanfictionCOMPLETED (with old format). Buku ke-2 dari seri Lost In Time. Sejak perjalanan terakhir di Narnia, mereka tahu waktu akan menjadi musuh terbesar dalam hidup mereka. Perjalanan baru dimulai, mengungkapkan apa yang hilang dari sejarah dunia Narnia da...