PART 31

16.2K 722 39
                                        

Lama kak Adit dan om Bagas bermain tenis akupun, membuatku sedikit bosan. Mauku tadi ingin belajar tapi malah ada om Bagas yang membuatku mager. Setelah hampir dua jam kak Adit bermain. Merekapun istirahat di dekatku

"Maaf Kak, Om gak ada air minum. Soalnya aku gak bisa bawa motornya." Kataku sedikit sungkan karena sama sekali tidak ada air untuk mereka minum.

"Udah gak papa Lan." Ucap kak Adit membuatku tenang.

"Yaudah Dit saya pulang dulu. Kasihan istri di rumah sendiri. Apalagi lagi hamil." Pamit om Bagas tiba tiba, padahal baru saja duduk.

"Aduh bang, gak bisa nanti dulu. Baru aja selesai main." Cegah kak Adit, tapi percumah saja om Bagas tetap ingin pulang. Dia pun pergi menyisakan aku dan kak Adit berdua saja.

"Lan?" panggil kak Adit padaku. Aku yang masih setia menatap langit malam yang terliat mendung.

"Iya?" akupun segera menatap kak Adit yang duduk di sampingku ini. Ku tatap matanya tepat pada manik manik matanya.

"Maaf membuatmu menangis lagi, kecewa lagi dan tersakiti." Ucapnya tulus sambil menggenggam ke dua tanganku erat. Aku yang mendengarkan penuturannya sedikit tersentuh.

"Iya, kamu emang jahat kak." Canda ku membuatnya mecolek hidungku gemas.

"Kak ajari aku main tenis dong." Ucapku mengalihkan topik

Diapun berfikir sedikit lama "Ok kalau gitu." Segera dia berdiri dan mengambil raketnya.

Akupun semakin happy karena akan belajar tenis lapangan. Olahraga yang sangat aku ingin pelajari. Dimana semua orang bilang ingin bisa main golf, aku akan lebih memilih tenis lapangan.

"Sini kamu pegang rakitnya begini, dengan kaki membentuk ancang ancang. " Akupun berjalan ke arahnya untuk memegang raket. Sedangkan dia berada di belakangku, memelukku dari belakang untuk menunjukkan caranya.

"Terus kamu ayunin kayak gini." Ajarnya dengan pelan. Membuatku semakin tersenyum, karena dia sangat lembut mengajariku. Dingin malam ini sama sekali tidak aku rasakan karena kehangatan dari tubuh kak Adit. Malam malam begini romantisan. Sedikit canggung itu yang aku rasakan karena posisi kami yang sangat dekat. Rasanya berbeda dengan saat aku memeluknya.

"Aku lembar ya bolanya kamu pukul pakai raket." Ucapnya kemudian menjauh dariku untuk melemparkan umpan.

"Siap, Nih. " Ucapnya kemudian melemparkan bola ke arahku. Aku melihat bola datang segera mengikutinya, tapi nihil aku kehilangan bola. Bukannya memukulnya aku malah memukul angin. Memalukan Alana.

Dari sisi sebrang nyaring aku mendengar kak Adit yang menertawai tingkahku. Aku hanya menatapnya sebal.

Dia yang menyadari itu segera mengambil bola hijau yang ada di keranjang. "Nih aku lembar lagi." Ucapnya sambil menunjukkan bola, lalu melemparkannya lagi. Untuk kedua kalinya aku melewatinya. Dan untuk kedua kalinya kak Adit menertawaiku lagi.

udah ah, gak mau lagi. Rajukku kemudian meletakkan raket di lantai sambil menatap kak Adit kesal,

Diapun berkacak pinggang "Dikit dikit... ngerajuk, ... cemburu, kalau gak bisa..... marah,.... sebel. Gak usah belajar aja sekalian." Celetuknya membuatku makin kesal, tapi itu semua ada benarnya.

"Ambil lagi raketnya." Ucapnya sambil berjalan ke arahku.

"Gini loh Lan, caranya kamu harus lihat arah bola datang, tunggu sampai bola memantul satu kali terus kamu pukul. Kalau langsung juga gak papa. Intinya kamu harus bisa baca bola datangnya dari arah mana." Ucapnya kembali ke posisi di belakangku, bahkan saat berbicara di juga mempraktekkan cara jika arah bola datang dari kanan dan kiri.

Dituliskan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang