Chapter 3

8.9K 253 3
                                    

Saat bahagia itu terlintas dipikiranku..
Aku seolah berpikir akan abadi...
Seakan rasa takut itu terkikis oleh rasa nyaman...

Tapi..

Abadi itu sementara..
Digantikan oleh bulir-bulir air mata yang selalu turun tanpa perintah..
Kesedihan terus hadir..
Aku tak tahu kapan ini berakhir?

- Alice Fredella Diaz -

***

Alice Pov.

Pagi ini sang fajar tidak menampakkan sinarnya. Seakan awan menyelimuti langit dan sinarnya tidak dapat menembusnya.

Sama halnya seperti hatiku saat ini. Menahan sakit hingga perih seperti ditusuk sebilah pisau tajam.

Aku menatap langit yang sudah semakin gelap. Menandakan hujan akan mulai turun membasahi bumi.

Tak terasa air mata ini jatuh sendirinya. Dan walaupun aku menangis tak seorang pun yang bisa mendengar isakanku. Derasnya hujan membuat aku bebas untuk menangis, karena hanya itu membuatku sedikit lega.

***

"Azka," panggil Alice membuka pintu ruang kerja Azka.

"Hmm.. ada apa?" tanpa menoleh, tetap fokus pada benda persegi empat yang berada tepat di depannya.

"Aku cuma ingin bilang kalau makan malam sudah siap. Apa kau ingin makan sekarang? Sebab kalau sudah dingin, tidak aka__"

"Aku akan menyusul, kau tunggu disana." Azka memotong kalimat Alice. Biarpun nada bicara Azka datar, Alice merasa senang karena suaminya mau menyantap masakannya kali ini.

Suasana di meja makan hanya terdengar suara sendok dan garpu. Azka tetap tenang menyantap makanannya.

"Are you okay? Apa kau habis menangis?" tiba-tiba Azka memecah keheningan dengan mendahului percakapan.

Uhuk... uhuk...

Alice terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Azka. Ia tak menyangka Azka menanyakan hal itu.

"Minumlah,"Azka menyodorkan air dan memberikannya ke Alice.

"Thank's," Alice mengambil air tersebut dan cepat-cepat meminumnya.

"Kau menangis? Matamu sembab," tanya Azka lagi dan memperhatikan wajah Alice.

"Ti.. Tidak.. mataku hanya terkena.. asap... iya hanya terkena asap ketika memasak." jawab Alice terbata-bata. Ia berbohong.

Azka berdiri dan lebih mendekat ke arah Alice. Alice hanya menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap wajah Azka.

Alice berpikir, apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan sejujurnya. Apakah Azka akan semakin kecewa?

"Apa kau ingin mengatakan sesuatu? Kau bisa berbohong untuk dirimu sendiri tapi kau tidak bisa membohongiku." tangan Azka meraih dan mengangakat pelan dagu Alice agar bisa menatap matanya.

Mata Alice mulai memanas, ada sesuatu yang akan keluar. Alice mencoba menahannya tapi akhirnya runtuh juga pertahanannya.

Alice menangis, tiba-tiba Azka memeluknya. Alice membulatkan bola matanya. Tak menyangka Azka akan memeluknya.

Azka mengurai pelukannya. Dan mengusap air mata Alice.
"Katakanlah, aku akan mendengarkannya."

Alice mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.

"Kau pernah mengatakan jika kau akan menerimaku apa adanya dengan segala kekuranganku. Tapi mengapa kau kecewa saat kau tahu aku ini tidak__"

"Tidak perawan? Itu yang ingin kau katakan?"

"Hmm.. iya.." Alice kembali menunduk.

"Aku hanya tahu jika kau itu broken home. Aku memang mengatakan menerima akan kekuranganmu. Tapi kau tidak mengatakan hal itu kepadaku."

"Aku... aku takut, jika aku mengatakannya. Kau akan jijik padaku tapi aku hanya korban Azka. Sampai sekarang aku masih merasa diriku ini kotor." Alice menundukkan kepalanya dan kembali terisak.

"Iya aku kecewa bahkan marah kepadamu, itu karena kau tidak mengatakannya!" Azka meninggikan suaranya dan tepat dihadapannya Azka mencengkeram kedua bahu Alice.

"Aku... diperkosa.." Alice terisak dan menutup wajah yang sedari tadi basah karena air mata dengan kedua tangannya.

Shit!

Azka mengumpat dalam hatinya. Ia kasihan terhadap Alice tapi rasa kesalnya tidak dapat disembunyikan. Azka sangat marah dan melepaskan cengkeraman tangannya di bahu Alice. Alice mundur dan terduduk lemas bersandar di dinding. Isakan tangis Alice membuat dada Azka terasa sesak. Azka mensejajarkan tubuhnya agar dapat melihat Alice.

"Siapa pria itu Alice?" tanya Azka menegaskan kata pria tersebut.

Alice mendongakkan wajahnya. Alice sangat takut. Ia tak segera menjawab pertanyaan Azka. Bibir Alice mengatup rapat.

"Siapa. Pria. Itu?" Azka mengulang pertanyaan dan mengeja satu persatu kata yang dilontarkan ke Alice.

"Dia...." Lidah Alice terasa kaku untuk mengatakannya. Ia terus terisak, tidak berani menatap wajah Azka.

"KATAKAN ALICE!!" Azka berteriak seakan kesabarannya habis.

Alice tersentak, baru kali ini Azka berteriak marah padanya. Alice segera mengusap pipinya yang dibanjiri air mata dengan kasar. Tangisan Alice langsung berhenti.

"Pertengkaran kedua orang tuaku seolah mengguncang pikiranku. Aku frustasi, setiap hari selalu ada teriakan, tangisan, dan entah apa saja yang sudah dilempar oleh mereka." Alice mulai memberanikan diri untuk bicara. Azka hanya diam dan mendengarkan setiap kalimat yang diucap Alice.

"Lantas?" tanya Azka.

"Aku pergi dari rumah, tidak menghiraukan mereka. Aku rasa mereka pun begitu. Aku ingin mencari ketenangan dengan datang ke tempat yang sama sekali tidak pernah aku pikir sebelumnya."

"Kemana kau pergi?" tanya Azka datar.

"A-ku... aku... pergi ke... klub,"

Azka mengernyitkan dahinya.

"Itu pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat seperti itu. Dan membawa petaka seumur hidupku."

"Aku tidak tahu siapa namanya tapi aku ingat wajah pria itu. Dia menghampiriku ketika aku sudah dalam keadaan setengah tak sadarkan diri. Mengingat kejadian itu membuatku takut Azka," air mata Alice kembali terurai. Tubuhnya bergetar dan tiba-tiba kedua tangan Azka mulai bergerak memeluk Alice. Mendekap tubuh mungil dan menyandarkan kepala Alice di dada bidangnya. Hati Azka seketika luluh mendengar ketakutan Alice. Tubuhnya masih bergetar ditambah lagi tangisan yang belum berhenti. Alice tidak membalas pelukan suaminya tapi ia bisa merasakan Azka peduli terhadapnya.

Tbc.

Banyak typo... maklum yah:)

Because Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang