Jika bahasaku bahasa cinta, aku pasti aku bisa dapat segala wanita cantik-cantik dari seluruh dunia. Aku ku bisikkan bulan dan bintang di telinga kecil juita, aku ku selitkan bahasa cinta di rimba minda itu. Kau pasti akan jatuh cinta pada bahasa yang ku katakan buatmu.
Tapi cinta sahaja tidak mencukupi.
Aku mula mengerti bahasa duka. Aku bertatih dari luka lama lalu meluncur ragu di sungai berdarah itu. Mempelajari bahasa duka tidaklah selancar yang ku sangkakan. Sering kali aku lemas di air mata sendiri. Namun dengan air itu jugalah yang menyuling kudratku untuk terus berbahasa.
Tapi duka dan cinta alpa, ego juga adalah bahasa.
Bisa menjadi benteng mahupun jambatan, bahasa ego kedengaran jauh dari mimpi malam aku. Ada masanya lidah ini lembut, kadang juga keras membatu namun yang paling lantang adalah lidah sepi yang tidak bersuara tetapi teriaknya kedengaran seluruh semesta jiwa. Ia juga bisa senyum tanpa sebarang muslihat dunia.
Ternyata bahasa mutlak adalah bahasa diri yang bisa menamakan kita manusia; atau sebaliknya.
YOU ARE READING
Sejarah Dari Mata Pengalah
PoesíaKumpulan puisi dan prosa tulisan M. Firdaus Kamaluddin.