Teduh

339 16 2
                                    

"Bagaimana aku harus meneruskan hidupku tanpamu jika kau adalah duniaku?"

Adhitama Elvan Fahreza

««***»»

Vania keluar dari Starbucks dengan wajah memerah. Mungkin sekarang kepalanya sedang mengeluarkan asap layaknya kereta lokomotif. Tapi tenang, itu hanya terjadi di dalam kartun.

"Cie yang pipinya lagi merona nih," goda El yang sekarang berada tepat di belakang Vania.

"Cih sok tau!" ketus Vania.

"Udah sih gak usah malu-malu buat ngakuin!"

"Ngaku? Ngaku tentang apa?" tanya Vania bingung.

"Ngaku kalo lo masih sayang sama gue," ucap El yang membuat jiwa Vania terhentak.

Ia menghentikan langkahnya. Menundukan kepalanya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Vania sedang berusaha menutupi air mata yang akan tumpah barusan.

Tes.... Tes....

Gerimis menyapa El dan Vania di depan Starbucks malam ini. Satu persatu percikan air terbentuk karena kerinduan Sang Hujan dengan Ghaea. Aroma pratikor menelusup menembus dinginnya atmosfer malam ini.

Satu per satu tetes air turun dengan intensitas yang semakin cepat. Menghadang siapa saja yang akan memijakan kakinya pada Ghaea. Termasuk Vania. Sepertinya hasrat ingin pulangnya terhalang oleh rintik hujan yang saling bercumbu mesra.

Vania mendengus kesal. Kedua mengepal kesal. Vania mengambil nafas dalam-dalam dan berteriak, "KENAPA GUE HARUS KETEMU HUJAN PAS LAGI SAMA MANTAN GUE SIH!"

El terkejut mendengar teriakan Vania. Meski deruman hujan malam ini cukup keras, tapi teriakan Vania berhasil menembusnya. El melirik ke arah Vania. Ia melihat ekspresi Vania yang begitu kesal dengan keadaan malam ini. Tapi menurut El, Vania terlihat sangat manis ketika ia sedang marah.

El mendekat ke arah Vania. Ia menjulurkan tangan kirinya. Menawarkan genggaman tangan yang hangat untuk melewati dinginnya hujan malam ini.

Vania membuka matanya ketika ia merasakan ada seseorang yang menyenggol tubuhnya. Ia melihat juluran tangan yang sangat ia rindukan genggamannya. Juluran tangan yang selalu setia menggenggam tangannya.

"Buruan! Pegel tangan gue nih!" ketus El melihat reaksi Vania yang masih melamun memandang tangan El.

Vania merasa sangat canggung dari sebelumnya. Dengan ragu Vania menjulurkan tangan kanannya. Pelan tapi pasti kedua tangan yang berbeda tuan itu akhirnya bersatu.

El menggenggam erat tangan Vania. Mencoba memberitahukan lewat isyarat genggamannya bahwa El akan selalu ada di sisi Vania.

Vania merasakan kehangatan yang membawanya ke sebuah kenangan indah namun menyakitkan jika diingat.

"Sudah siap?" tanya El sambil mengutas senyum.

Vania memasang ekspresi bingung dengan pertanyaan El.
"Maksudmu hujan-hujanan?"

"Kau masih suka hujan kan?" tanya El lagi.

Vania tersenyum sambil menganggukan kepalanya dengan semangat. Ia menarik El kedalam derasnya hujan malam ini.

BUKAN MANTAN BIASA [END] PROSES REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang