h u l u p a u D

2.1K 155 3
                                        

"Cabut duluan gua, bro." Deni menepuk bahu Rian yang baru menghampirinya dengan skateboard.

Rian mengernyit lalu melirik jam tangannya. "Baru jam 8, bro. Buru-buru amat, mau ngapel lo?"

Deni tersenyum sambil mengangkat alisnya. "Iya dong, emang lo belom move on dari Erika hahaha."

Rian mendengus lalu menonjok bahunya pelan. "Sial lo!"

Deni tergelak. Ia menginjak tepi papan skate-nya lalu mengangkatnya. "Kurangin ngumpul lo. Udah mau lulus juga, banyakin belajar sana." ia tersenyum miring membuat Rian mengetok kepalanya.

"Gaya lo nyuruh gua belajar." Rian kembali ke arena meninggalkan Deni yang kini bersiul menuju motornya.

Ia mengeluarkan ponselnya ketika merasa getaran dari benda itu. Ada sebuah panggilan whatsapp dari Yana. Keningnya mengerut. Sebegitu tidak sabarannya Yana ingin bertemu dengannya. Diterimanya panggilan itu. "Halo, Yan."

"..."

Deni meletakkan papan skate-nya di jok belakang lalu melilitnya dengan tali. Diperhatikannya ponselnya, masih tersambung. "Yan?"

"Den.. " panggilan dengan suara sesenggukan itu membuat Deni panik.

"Yan, lo kenapa? Gua mau otw rumah lo ini." Deni memakai helmnya lalu meletakkan ponselnya itu di telinga, membiarkan benda itu terjepit selagi ia menyalakan motornya.

"Gu.. Gua gak di rumah, Den."

Deni semakin cemas. "Yaudah lo di mana sekarang? Gua susulin."

Setelah Yana mengucapkan alamatnya. Ia langsung menancap gas motornya. "Tunggu gua. Jangan ke mana-mana."

_D E N I A L_

Deni memarkirkan motornya dengan asal. Ia berlari mencari Yana di sekitar taman tanpa melepas helmnya. Matanya menangkap seseorang yang tengah meringkuk di salah satu bangku taman dengan tubuh bergetar.

Ia segera mendatangi orang itu. Berdiri dihadapannya. "Hei."

Bukannya menyahut, orang itu malah semakin menundukkan kepalanya. Deni menjatuhkan badannya. Berdiri dengan lututnya. Disibaknya rambut panjang Yana yang menutupi wajah gadis itu. "Yan."

Yana menatapnya dengan wajah sendu. Deni mengusap air matanya. "Kenapa?"

Yang ditanya malah semakin menangis membuat Deni ikut sedih. Ia mengambil ikat rambut di pergelangan tangan gadis itu lalu mengikat rambut Yana dengan asal.

"Sandi lagi?" tanyanya yang sebenarnya hanya menebak.

Melihat anggukan Yana membuatnya menghela nafas. "Kenapa lagi dia?"

"Gu.. Gua cuma tanya, kemarin-kemarin dia kenapa, dia malah marah-marah, sampe dia nam--"

Ucapannya terhenti bukan karena Deni memotong pembicaraannya namun karena dia yang kini menutup mulutnya.

"Nam? Apa?" Deni bertanya dengan jantung yang berdebar kencang.

Buru-buru ia melepas helmnya lalu menyalakan flashlight ponselnya dan mengarahkan pada wajah Yana.

Deg.

Deni baru menyadari, ada bekas telapak tangan orang yang membuat kulit wajah Yana memerah. Ia menyesali dirinya sendiri yang tidak meneliti Yana dari tadi. Tangannya mengepal kuat. Dengan menahan amarahnya. Ia menatap Yana yang kini kembali menundukkan wajahnya. "Dia yang nampar lo?"

Yana diam. Ia takut.

"Gua tanya, dia yang nampar lo?!" bentaknya membuat Yana semakin takut. Ia kembali menangis membuat Deni tersadar.

DENIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang