a u d h u l u p t a p m E

1.7K 120 6
                                    

Waktu masih menunjukkan pukul 8 malam ketika Deni menguap lebar. Ia mengucek matanya lalu kembali belajar. Jangan sangka Deni murid pintar. Dia belajar juga karena dipaksa Mamanya. Meski dengan mata mengantuk, semua demi menaikan sedikit peringkatnya. Kemarin ia masuk peringkat 25 besar. Ulan menargetkan Deni menaikan peringkat minimal jadi 20 besar dan ia akan memberikan apapun yang Deni mau. Mamaable banget, kan?

Sebenarnya Deni sudah punya niat belajar sebelum di embel-embeli hadiah dari Ulan. Gesrek-gesrek begitu, Deni juga mikir masa depan. Ini ujian kenaikan kelas. Kalau dia gagal, masa harus tinggal kelas disaat teman-temannya udah jadi senior? Deni juga mau sekali-kali bikin bangga orang tua. Dia pengin kuliah nanti bisa masuk universitas terbaik.

Panggilan masuk dari Riko langsung diterima Deni. Ia mengaktifkan loudspeaker lalu meminum good day yang tadi dibuatkan Tika.

"Lo lagi ngapain, Den?"

"Gua berasa belok, lo nanya begitu."

Terdengar tawa Riko disebrang sana. "Gua denger dari Wisnu, lo rajin belajar ye sekarang."

"Iyadong, gua gak mau kena banyak remed apalagi ujian susulan kayak lo. Itu menyeramkan, Rik."

"Kan lo ngerti, Den. Gua mau pulihin badan gua dulu. Lagian gua gak mau anak-anak sekolah kita kasian sama keadaan gua kalo gua ikut ujian sekarang."

Deni melipat tangannya lalu merebahkan pipinya. Diam tak menyahuti ucapan Riko membuat Riko mendengus.

"Lo kalo gak respon gua, gua gak bakal mau telponan sama lo lagi, Den."

Deni berdecak sebal. "Gak usah sok marah-marah lo. Lagian gua gak minat tuh telponan mulu sama lo."

"Gua gak suka lo nyalahin diri lo terus. Ini kecelakaan. Siapapun yang ada di posisi lo waktu itu juga bakal gua selamatin."

Deni memijit pelipisnya. "Lo tuh kenapa berkorban buat gua, Rik?"

"Karena lo temen gua. Meskipun lo lebih sering gila daripada warasnya tapi gua selalu ingat kebaikan lo ke gua, Den."

Deni terharu mendengarnya. Ia terkekeh. "Lo ngomongnya kayak gua pernah berkorban aja buat lo. Padahal mah gua gak pernah baik sama lo."

Deni membawa ponselnya menuju balkon kamarnya. Menikmati hawa malam yang begitu dingin karena baru selesai hujan. Ia mendengar Riko terus berceloteh.

"Biar gua ingetin. Pas mos gua pernah ketauan ngerokok di taman sekolah terus pas gua dihukum anak osis, ada yang dengan begonya ngajuin diri buat dihukum juga padahal dia gak ikut ngerokok sama gua."

Deni menahan tawanya. "Siapa tu?"

"Siapa lagi kalau bukan lo."

Deni mengangguk, meski Riko tak melihat. "Itu gak seberapa kalo dibanding sama lo yang sampe masuk rumah sak--"

"Lo juga pernah nginap 3 hari 3 malam di rumah gua."

Deni menganga. "Itu kan cuma nginap, Rik. Bukan termasuk kebaik--"

"Kata siapa? Lo nginap karena tau gua ditinggal sendiri di rumah. Lo takut kalo gua kenapa-kenapa dan gak ada yang tau kondisi gua waktu itu."

"Itu biasa aja, Rik."

"Bagi lo tapi bagi gua itu berarti, Den. Lo udah nunjukkin sikap terbaik seorang teman. Mungkin memang cuma sesuatu yang dianggap orang lain hal biasa tapi lo gak tau kalo hal biasa itu bisa memberi efek bagi beberapa orang."

DENIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang