a u d h u l u p a g i T

1.9K 110 7
                                    

Terbiasa diganggu Deni membuat Yana merasa aneh ketika berpapasan dengan Deni yang hanya meliriknya sekilas. Yana sampai menoleh, memastikan kalau yang barusan melewatinya memang Deni. Apa Deni amnesia? Ah bodo amat. Malah bagus kan kalau cowok itu sudah berhenti mengganggunya.

Yana baru mengerti ketika Bella memberinya kabar soal Deni. Ia sempat terkejut sebelum menetralkan wajahnya. "Oh dia beneran pacaran sama adek kelas itu?"

Bella mengangguk lesu. "Stok cogan gua berkurang satu nih."

Yana terkekeh hambar. "Akhirnya dia punya pacar juga."

Mata Bella memicing. Memperhatikan Yana dengan serius. "Lo gak marah?"

"Marah buat apa? Gua justru seneng karena itu artinya dia gak bakal ngerecokin hubungan gua lagi." Yana memaksakan senyumnya.

"Tapi kok muka lo kek gak ikhlas gitu ya?"

Yana meliriknya heran. "Gak ikhlas apanya? Gua biasa aja tuh." Ia berdiri. "Udah deh, gua mau ke Deni dulu."

"Mau ngapain?"

"Ngucapin selamat lah. Mau apa lagi?" tanyanya lalu berlalu dari kelas menuju kelas sebelah.

Ia melangkah mendekat ketika Deni ternyata sedang duduk di depan kelas. "Den.. "

Lelaki itu menoleh, nampak terkejut karena kehadiran Yana. "Eh, Yan."

Yana membungkam mulutnya membuat Deni bingung. "Kenapa?"

Yana masih bungkam. Ia memperhatikan wajah Deni yang lebam. "Soal Sandi.. "

Deni menatapnya lalu mengerti. "Ah it's okay." Ia meraba wajahnya yang terluka. "Ini gak sakit, kok."

Yana mengangguk kaku. "Sekali lagi gua minta maaf atas nama Sandi."

Deni tersenyum tipis. "Gak perlu. Sandi udah minta maaf langsung ke gua kemarin."

Yana menggaruk lehernya. Kenapa suasananya jadi canggung gini ya? Teringat apa yang dibicarakannya dengan Bella tadi membuat Yana berdeham. "Hmm. Den."

Deni menatapnya. "Apa?"

"Itu, lo sama adek kelas itu.. "

"Adek kelas?" tanya Deni membuat Yana menghela nafasnya.

"Yang pinjemin gua seragam dulu."

"Oh, Cilla."

Yana mengangguk. "Lo sama dia.. Pac. ..caran?"

Entah kenapa saat menanyakan soal kebenaran itu Yana merasa jantungnya berdebar kuat. Hatinya ingin Deni tidak mengiyakan pertanyaannya tadi tapi..

"Iya, baru jalan 2 hari."

Jantung Yana mencelos. Ia merasa sesak menerima kenyataan itu. Yana merutuki dirinya sendiri. Apa yang sedang ia rasakan sekarang? Apa ia tidak terima kalau Deni berpacaran? Tapi kenapa? Bukankah dia sendiri sudah punya pacar? Yana menggelengkan kepalanya, berusaha membuang jauh-jauh pikiran aneh di kepalanya. Ia menarik kedua sudut bibirnya. Berusaha memasang senyum lebar di depan Deni.

"Oh bener, ya? Kalo gitu, selamat ya. Semoga hubungan kalian langgeng. Gua ikut bahagia dengernya." ia mengulurkan tangannya yang dijabat Deni dengan ragu.

"O.. Ke.. Makasih, Yan." Kenapa Deni juga merasa sakit saat tau Yana mendukung hubungannya dengan Cilla?

Yana semakin melebarkan senyumnya. "Kalo gitu, gua balik ke kelas dulu." Ia langsung berjalan cepat memasuki kelasnya.

Deni memperhatikan Yana hingga gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding lalu menatap kosong ke depan. Ia tidak harus merasa bersalah kan sudah jujur dengan Yana soal hubungannya? Lagipula buat apa dia menyembunyikan hubungan ini? Toh sudah banyak teman-temannya yang tau. Deni tersenyum miris. Sekali lagi ia berusaha meyakinkan hatinya untuk melepas Yana.

DENIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang