Deni stres pasca kejadian Riko tertusuk pisau karena menyelamatkannya. Meskipun tidak ada yang menyalahkannya. Meskipun Riko sendiri sudah tak memusingkan hal itu tetap saja Deni merasa bersalah. Ia terus merutuki dirinya yang ceroboh. Seharusnya hari itu ia yang tertusuk. Ia yang masuk rumah sakit. Ia yang dioperasi bukan Riko. Deni pamit pulang sebentar saat Riko tidur dan ada Wisnu yang menjaganya. Ia hendak mandi dan mengambil beberapa baju untuknya menginap lagi di rumah sakit.
Telepon dari Cilla membuat Deni yang baru saja selesai mandi langsung mengangkatnya. "Jalan yuk!"
"Maaf ya, Cill. Tapi gua gak bisa. Kita ketemu di sekolah aja nanti ya."
"Tapi lo bahkan masih ngilang sampe sekarang, kak. Sebenarnya lo lagi ngapain sih? Kenapa sampe gak turun sekolah padahal bentar lagi ujian semester?"
Deni menghela nafasnya. "Ceritanya panjang, nanti gua ceritain kalo gua udah masuk sekolah."
"Oke, tapi kak.."
"Hmm?"
"Lo gak kenapa-kenapa, kan?"
Deni terdiam sejenak. "Gua okay kok. Udah dulu ya, Cill. Gua mau pergi lagi."
"Okay. I love you."
"Me too."
Klik. Panggilan terputus. Deni mengemasi beberapa kaus dan celananya. Berdecak kesal ketika Wisnu mengiriminya pesan yang memintanya membelikan pizza. Katanya Riko yang minta. Lah emang orang sakit makan pizza? Bilang aja gak mau ganti duit Deni, pake bawa-bawa nama Riko lagi. Berhubung Deni adalah teman yang baik, ia menuruti keinginan Wisnu.
Deni baru saja hendak pergi ketika sudah mendapatkan pizzanya kalau saja tidak ada sebuah suara yang menginterupsi. Deni menoleh, terkejut melihat Sandi yang kini melambaikan tangan padanya. Ada Yana di sana, menatapnya dengan tatapan yang sedikit membingungkan. Deni mendekat lalu ikut duduk di meja mereka. "Lo ke mana aja, Den?" Tanya Sandi membuat Deni bingung.
"Gua gak ke mana-mana, San."
Sandi menatapnya lalu melirik Yana. "Kata Yana, lo udah beberapa hari ini gak masuk sekolah. Temen-temen lo juga. Kalian pada kenapa? Jangan bilang kalian di D.O?"
Deni terbahak. "Lo jangan doain gua yang buruk dong. Kalo mau doain gua itu yang baik-baik. Udah mau naik kelas 3 nih, masa iya gua berhenti sekolah?"
Sandi manggut-manggut. Ia menggigit pizza-nya. "Terus lo pada ke mana? Apa pada liburan?"
Deni menggeleng. Hampir keceplosan kalau saja hpnya tidak berbunyi. "Bentar."
Panggilan masuk dari Wisnu.
"Lo di mana anjir? Gua eh Riko maksudnya. Udah lapar nih, ngeronta-ronta sama gua."
Deni mendengus. "Iya, gua tau lo lapar, Nu. Sabar ya, kalo gak sabar, lo harus bayar pizza yang gua beliin."
Deni mendengar Wisnu tertawa di sana. "Iye iye, buruan ah! Keburu mati kelaparan gua nih nungguin lo."
Malas mendengar ocehan Wisnu, Deni memutuskan panggilan sepihak. Ia melirik jam tangannya lalu beranjak dari duduknya. "San, Yan gua buru-buru nih. Gua cabut ya."
"Mau ke mana?" Tanya Yana yang penasaran.
Deni membuka mulutnya lalu kembali tertutup. Memasang senyum jahil. "Urusan cowok. Lo mana boleh tau." Ia langsung kabur menghindari Yana yang hendak mengamuk karena jawabannya.
Sandi menatap Yana yang masih melihat Deni hingga lelaki itu hilang dibalik pintu resto. Ia berdehem membuat Yana tersadar. "Deni bukan cuma temen biasa kan bagi kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DENIAL
Novela Juvenil[SELESAI] Kata orang, cinta itu buta. Kata orang sih gitu. Beberapa dari kalian pasti setuju dan ada juga yang gak setuju. Kenapa? Karena, ada yang benar-benar buta akibat cinta. Ada juga yang benar-benar cinta akibat buta. Bingung? Sama, aku yang...