Yana menggelengkan kepalanya melihat tingkah Deni. Saat ini para cogan dan 3 serangkai sedang kumpul di warkop sebrang sekolah. Kalau tidak karena Indah yang memaksanya untuk ikut, ia juga malas. Temannya itu sedang didekati secara terang-terangan dengan Riko tapi kenapa harus mengumpulkan mereka semua? Kenapa tidak mereka berdua gitu? Menyebalkan. Ia juga tidak suka berada di dekat Wisnu yang terlihat sok asik dengannya. Asik di depan teman-temannya tapi kalau hanya dengannya? Wisnu itu kejam. Dia sepertinya tidak suka dengan Yana. Padahal Yana tak merasa punya salah apapun dengannya.
Suara tepuk tangan membuat Yana kembali melirik Deni yang terlihat sumringah. Lelaki itu mengelus motornya lalu tersenyum lebar. "Bagus, 'kan?"
Riko mengacungkan jempolnya ketika Evan terkekeh. "Bagus. Baru lo kayaknya yang ngasih bel sepeda di motor."
Deni menganggukkan kepalanya. "Ya gimana ya. Gua tuh emang suka buat inovasi gitu."
Wisnu tergelak. "Motor kan udah punya klakson terus ngapain dipasang bel begitu hah?"
"Karena Yana sudah meng-kring kringkan hatiku." jawabnya membuat Yana melotot sementara yang lain terbahak.
Indah merangkul Yana lalu berbisik. "Deni itu suka banget sama lo, Yan."
"Tau."
"Kasih kesempatan lah." celetuk Evan yang dengar bisik-bisik kedua temannya itu.
Yana menatap Evan dengan sinis. Ia melepas sebelah sepatunya lalu melemparkannya pada Deni. "Berhenti gombalin gua!"
Deni terkekeh. Dia mengambil sepatu Yana yang berhasil ia tangkap. "Makasih sepatunya."
"DENI!!!!" Yana mendekat dengan kaki yang dibalut sebuah sepatu dan kaus kaki. Ia meminta sepatunya yang membuat Deni semakin meninggikan tangannya.
"Apa?"
"Sepatu gua!"
"Ambil kalo bisa." Deni menahan senyumnya melihat Yana berjinjit di depannya.
Wisnu mendengus melihat kelakuan temannya. Ia memilih kembali ngopi bareng Evan dan Riko daripada memperhatikan dua orang itu.
Deni menurunkan tangannya ketika melihat Yana sudah berkeringat. Ia berjongkok lalu memasangkan sepatu Yana membuat yang lain terdiam. "Lain kali, kalau mau lempar barang itu yang udah gak lo butuhin. Jadi lo gak bakal minta lagi ketika barang lo itu hilang."
Selesai mengikat tali sepatunya. Deni berdiri, ia tersenyum tipis. "Lo gak boleh terlalu sering menyia-nyiakan sesuatu."
Yana terdiam. Ia mengeluarkan ponselnya ketika ada yang menelpon. "Halo?"
"Aku di depan halte, yang."
"Ohiya tunggu, yang. Aku ke sana." Yana mendekati Indah untuk mengambil tasnya lalu berpamitan. Ia melirik Deni. "Gua duluan."
Deni mengangguk lalu kembali mendekati motornya. Ia membunyikan bel sepeda lalu berseru heboh seakan tak masalah melihat Yana dijemput sang pacar. Melihat Deni seperti itu makin membuat Wisnu prihatin. Apakah ia harus menjauhkan Deni dari Yana agar temannya itu tidak akan sakit hati lagi? Tapi masalahnya Deni pasti gak mau, 'kan?
"Rik, tas gua, Rik."
Riko langsung melemparkan tas milik Deni membuat Evan bertanya. "Udah mau cabut lo?"
"Iya, mau isi saldo gua." Deni menangkap tasnya lalu menaiki motornya. Memakai helm kemudian menekan bel sepeda, tanda pamit kepada teman-temannya.
Evan menggelengkan kepala. "Heran dah gua sama tu anak. Kelakuannya aneh-aneh aja."
Riko meminum kopinya. "Ya kalo gak aneh bukan Deni namanya. Ya gak, mbem?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DENIAL
Roman pour Adolescents[SELESAI] Kata orang, cinta itu buta. Kata orang sih gitu. Beberapa dari kalian pasti setuju dan ada juga yang gak setuju. Kenapa? Karena, ada yang benar-benar buta akibat cinta. Ada juga yang benar-benar cinta akibat buta. Bingung? Sama, aku yang...