"Arghhhhh!" Riko meninju samsak didepannya. Berulang kali dengan wajah yang begitu stress.
"Lo kenapa sih, Rik?" tanya Wisnu sambil meminum kopinya.
"Gua gapapa." jawab Riko sambil menghapus keringat diwajahnya.
"Yakin? Apa lo masih frustasi? karena gak bisa nerima kenyataan gak sekelas lagi bareng gua dan Wisnu." Deni yang sedang duduk tenang di sofa bertanya sambil memainkan ponselnya.
"Idihhh justru gua bahagia ya gak sekelas lagi bareng dua curut kaya lo." kata Riko sambil duduk disamping Deni.
"Den, Nu." panggil Riko membuat kedua temannya menoleh dengan tatapan seolah berkata apa?
"Ini udah malam lohh, kalian gak pulang?" tanya Riko.
"Ngusir lo yaa." Deni segera berdiri.
"Bukannya gitu, kalian kan tau, bentar lagi nyokap bokap bakal pulang dari kantor, ntar gua kena omel lagi karena masih asik ngobrol dan gak belajar."
"Iya juga ya, yaudah dehh gua cabut dulu mau malmingan bareng cewek gua." Wisnu langsung pergi dari hadapan Deni dan Riko.
Deni menggelengkan kepalanya. "Tu anak masuk nyelonong, keluarnya gak sopan, gak ngucap salam main cabut aja."
"Sama aja kaya lo Den, Den." kata Riko tertawa.
"Hahaha iya juga ya, tapi kan parahan dia, yaudahlah ya gua cabut dulu, Rik." Deni menepuk pundak Riko lalu melesat pergi.
Deni bersiul sembari membuka pintu utama rumah Riko. Ia berjalan menuju motornya, mengenakan helm lalu menaiki motornya. Deni melirik jam tangannya. "Baru jam setengah sembilan, masa gua harus pulang sih?" Deni menjalankan motornya sembari berpikir.
"Kemana, ya? Kerumah Yana? Iya, kalo doi ada. Kalo gak ada? Ntar gua direbutin kak Wafa sama Om Darma lagi." Deni terkekeh sendiri.
Deni memelankan laju motor saat di dekat halte sekolahnya. Kebetulan rute jalan menuju rumahnya jika dari rumah Riko, melewati Sma Harapan. Ia menekan klaksonnya menyadarkan seorang gadis yang sedang duduk termenung di bangku halte. Sendirian.
Gadis itu tersentak. Ia menoleh dan terkejut melihat kehadiran Deni. Walaupun begitu, Deni juga bisa melihat gadis itu menghela nafas lega ketika yang dilihatnya adalah orang yang ia kenal. Ralat, ia tau.
Deni melepas helmnya, lalu ia taruh ditangki, melipat tangannya diatas helm tersebut. "Kok disini?"
Gadis itu meringis. "Tadi mau kerja kelompok. Janjiannya kumpul disini, tapi tiba-tiba aja yang lain pada gak bisa," Gadis itu menatap Deni. "Kak Deni sendiri, ngapain?"
Deni memandangnya dengan senyum geli. "Jadi gini, Cill. Tadi gua niatnya pulang habis main dari rumah Riko. Eh lo juga gak tau Riko, ya? Ngapain gua ceritain hehe."
Cilla ikut terkekeh mendengarnya. Deni melanjutkan ceritanya. "Barusan gua mau pulang tapi pas liat ni halte kayak ada penampakannya, yaudah deh gua samperin dulu."
Cilla mengerucutkan bibirnya. "Yah, masa gua dibilang penampakan."
Deni tertawa. "Becanda kali. Eh iya, jadi ini lo mau pulang?"
Cilla mengangguk. Ia mengecek ponselnya lalu menatap Deni lagi. "Nyokap pasti ngamuk nih kalo gua minta jemput padahal baru sepuluh menit yang lalu dia anterin gua kesini."
Deni menyalakan motornya yang sempat ia matikan tadi. "Yaudah, biar gua yang anter." Ia kembali memakai helmnya.
Cilla dibuat melongo dengan perkataan Deni tadi. Ia masih diam ketika Deni sudah kembali menyeimbangkan motor yang tadi sempat ia standar. Deni meliriknya lalu menekan klakson ketika Cilla masih diam tak bereaksi. "Ayo! Katanya mau pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DENIAL
Roman pour Adolescents[SELESAI] Kata orang, cinta itu buta. Kata orang sih gitu. Beberapa dari kalian pasti setuju dan ada juga yang gak setuju. Kenapa? Karena, ada yang benar-benar buta akibat cinta. Ada juga yang benar-benar cinta akibat buta. Bingung? Sama, aku yang...