XCII - Rasa

725 67 2
                                    

Rasa ada dengan sama terpendam

Terkubur dalam terjepit di antara palung

Tapi rasa cinta nyatanya tak dapat bertipu

Bersamaan di ujung rasa kasih yang pudar

Aku tahu aku mencintaimu

Walau kini keadaan yang tak mungkin terasa

Mungkin kau sama terpaut cinta

Hanya, mungkin

Karena aku tiada tahu hatimu

Rumah sakit sudah sepi dari kunjungan.

Hanya beberapa orang perawat juga keluarga pasien yang keluar masuk rumah sakit. Betapa tidak, sekarang sudah tepat pukul 23.13 malam, orang- orang lebih memilih tidur ketimbang berkunjung ke rumah sakit.

Tapi tak lama, sebuah mobil ven warna pink mendadak melintas di antara jalan rumah sakit yang berhias lampu remang- remang. Seorang gadis keluar, kemudian disusul seorang pemuda yang memapah seorang pemuda lainnya yang wajahnya begitu mirip namun dengan tubuh penuh darah.

Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya, mengagetkan beberapa petugas yang sedang berjaga.

"Tolong!!", Lesti mendekat ke arah meja administrasi.

Dengan nafas terburu-buru, juga Rizki yang susah payah memapah Ridho, Lesti terus bicara,

"Sus!, tolong tangani dia!!, segera!".

Seorang perawat di depan Lesti mengangguk dan segera berlalu pergi. Tak lama sebuah tempat tidur pasien di dorong ke arah Rizki yang membopong Ridho oleh dua orang perawat laki-laki dan juga perawat perempuan itu.

Ridho ditidurkan, dan segera di dorong ke arah ruang gawat darurat. Lesti dan juga Rizki berlari mengikuti, sambil terus menatap risau, dan penuh harap.

Lesti berhenti, tepat di depan pintu UGD, namun Rizki terus berlari masuk, walau jelas- jelas di depan pintu ditulis 'dilarang masuk selain petugas', sepertinya dia begitu khawatir. Dua orang perawat laki- laki tadi menahannya, tak membiarkannya masuk.

"Anda dimohon menunggu di luar, pasien akan segera kami tangani!", pinta seorang perawat. "Ta.. tapi!!", Rizki berontak.

"Maaf", dua orang perawat itu segera menutup pintu, tak membiarkan Rizki masuk.

...

Mereka menunggu,

dan terus menunggu.

Harap harap cemas menanti kepastian tentang keadaan Ridho. Begitu cemasnya Rizki, dia tak sedikitpun duduk, dan tak memperhatikan Lesti yang memandanginya sedari tadi.

"A' Iki!, duduklah, jangan sebegitunya A'", entah kenapa tiba-tiba Lesti melupakan kebenciannya.

Mungkin dia rindu masa- masa kebersamaannya dengan Rizki, namun dia malu mengungkapkannya. Rizki yang sedari tadi cuek menerima tawaran Lesti begitu saja. Kedua telapak tangannya berpagutan dengan ujung jari ditempelkan pada hidung, tatapan matanya fokus kedepan, terlihat penuh kecemasan. Dia tak sedikitpun menoleh ke Lesti. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Ridho.

"A'!", tegur Lesti. "Mmm". "Janganlah begitu khawatir...", tambah Lesti menenangkan. "Kau tak mengerti!!, aku ini saudaranya!!", bentak Rizki tiba- tiba.

Lesti langsung kaget, dia sedih karena dibentak Rizki.

"Eh, eh maaf, bukan maksudku....", sadar Rizki yang seketika menunduk malu.

"Ya.., aku tahu....., sudahlah A' Iki, aku pulang dulu ya!", pamit Lesti yang langsung berdiri kemudian pergi.

Rizki merasa bersalah, tak seharusnya dia membentak Lesti begitu.

"Ah..., aku ini terlalu emosi, mungkin sikap emosionalku benar- benar harus ku tekan dan ku kendalikan, tak benar kalau dengan ini aku selalu menyakiti hati perempuan seperti Lesti, dia sedih karena aku, dan.........., apa masih ada rasa untukku?".

...

Begitu lama menunggu, Rizki pun tertidur di bangku ruang tunggu. Dia terlalu lelah atas semua yang dia alami hari itu, hingga membuatnya tertidur.

Padahal luka tembak di betisnya masih ada, hanya darahnya saja yang mengering, dia tak membawanya ke perawat untuk ditangani, dan malah tertidur.

Dia pun tak pakai baju lagi, karena bajunya sudah dia robek untuk membendung luka Ridho, untung saja dia masih memakai jaketnya, sedikit melindunginya tidur dari hawa dingin malam. Dia benar- benar tak peduli apapun, dia begitu lelah.

Seseorang menggoyangkan tubuh Rizki, membuatnya bangun.

"Maaf Mas, apa luka di kaki anda perlu penanganan?, kebetulan ruang UGD sudah kosong, dan dapat segera digunakan", tawar seorang perawat perempuan.

"Ridho!!, di mana Ridho!", Rizki kaget dan segera mencengkeram pundak perawat itu dan ganti menggoyang- goyangkannya.

"Ma.. maaf, siapa yang anda maksud?".

"Ridho!!, orang yang terluka parah di UGD tadi!!".

"Tenang Mas, dia sudah dipindahkan di kamar rawat inap ruang Melati di lantai dua". Rizki segera berlari menuju tangga, dia tak menggubris lagi pada perawat itu.

"Tapi kaki anda bagaimana?".

"Tak usah pedulikan aku, aku harus mempedulikan saudara kembarku!!", teriak Rizki sambil berlari tertatih.

Dia menaiki tangga dengan cepat, berharap segera melihat Ridho.

...

Rizki membuka pintu ruang melati itu.

Benar kata si perawat, Ridho dipindahkan di sana.

Dia segera mendekati Ridho yang terbaring lemah, dengan alat bantu pernapasan melekat di hidungnya. Beberapa balutan perban yang cukup rapi membalut kepala, lengan, dan juga perutnya.

Seseorang yang sepertinya seorang dokter sedang mencatat sesuatu, dan seketika menoleh pada Rizki saat dia datang.

"Bagaimana keadannya Dok?", tanya Rizki.

"Sepertinya anda saudara pasien?", teka pak dokter yang mengamati kesamaan wajah antara Rizki dan Ridho.

"Ya, saya saudaranya, bagaimana keadannya Dok?!", ulang Rizki.

"Keadaannya tak bisa diselamatkan jika saudara telat membawanya ke mari, dia baik-baik saja, namun ada satu hal...", jelas dokter.

"Apa, hal apa Dok?!", tanya Rizki tak sabaran.

"Sepertinya, saudara Ridho terkena tusukan benda tajam, dan setelah diteliti, kemungkinan benda tajam itu adalah besi berkarat, itu sangat berbahaya, dalam kondisi ini, partikel kecil dari besi itu masih membekas, dan bahayanya, ini dapat mengakibatkan tetanus yang fatal. Tubuhnya harus segera dibersihkan dengan jalan operasi".

"Operasi?, kapan operasi itu bisa berlangsung Dok?".

"Secepatnya, agar partikel karat itu tidak menyebar ke organ vital tubuh". "Apa bisa hari ini Dok?!".

"Bisa, tentu bisa, ini juga demi kebaikan pasien, namun maaf sebelumnya, maaf, anda sebagai saudara dari pasien diharuskan untuk memenuhi administrasi pembayaran dulu, maaf". "Oh begitu, baik segera akan saya penuhi Dok".

"Kalau begitu, saya pergi dulu", ucap pak dokter pamit. "Ya".

alhamdulillah, bisa update.

ceritanya kreatif, "Ke foto kopian, pinjam flasdisk, copy file dari notebook, terus pinjem komputer, minta jaringan internet (#nggak_modal_bgt), terus update dah"

alhamdulillah aja, yang penting sempet update, walau kelupaan nggak copy file gambar header part ini, ya udah nggak papa.

yang penting




bisa update

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang