CXVI (a) - Menyesal

482 58 2
                                    

Dalam hati ini bercurah dari mendung yang sedih

Mencipta butir butir kepiluan yang tajam menusuk tanah

Walau mendung sudah menghablur terambur ambur

Tetap saja pelangi duka itu datang setelahnya

Apa ini sudah jadi azimat terus memutar

Bersayap kilau seolah cocok jadi takdir alam

Tak bisakah diganti, waktu ingin ku tusuk

Aku katakan menyesal hingga mampu terbayar

Tebuslah, kan membendung air mata dari pelupuk itu

"A' Iki jangan pergi, jangan buat Dede menyesal dengan kepergian A' Iki", ronta Lesti seolah tak merelakan Rizki yang berniat pulang ke Jogja.

Terik siang hari ini serasa mendung yang menyesakan hati. Walau matahari bersinar terang, menyilaukan mereka berdua yang duduk di altar teras rumah Lesti, tapi rasanya semua jadi sejuk, tiba-tiba mencekam karena Lesti merasa tak rela, bercampur menyesal di dalam hati. Jika Rizki benar-benar kembali, dia akan benar-benar menyesal karena dengan bodohnya pernah membenci Rizki dengan alasan yang sungguh sangat tak jelas itu. Tapi di sisi lain, Rizki sendiri bingung. Rencananya untuk kembali ke Jogja pun masih bisa dikatakan 'dadakan'. Itu baru terpikirkan olehnya tadi pagi, setelah peristiwa kemunculan Baron di hadapan Putri. Pengikatan janji kontrak pemindahan kekuatan Kusumadipati terkutuk pada Putri.

Hal ini sangat tak terduga, dan dalam menyikapinya, Rizki benar-benar harus siap fisik juga strategi untuk secepatnya menindak kedatangan 'musuh barunya'. Satu-satunya alasan kenapa Mereka harus pulang ke Jogja adalah rencana Rizki sendiri untuk meminimalisir dampak dari penyerangan yang mungkin akan dilakukan Putri sebagai 'musuh baru'. Juga dengan kembali ke Jogja, kekuatan Rizki Ridho dapat terkendalikan dengan maksimal dalam nantinya menghadapi Putri jika terjadi penyerangan. Namun resikonya, Rizki harus meninggalkan Lesti yang menetap di Jakarta, dia harus bisa berpamitan pada Lesti tanpa harus membuatnya sedih atau merasa dijauhi.

...

Dua jam setelah itu, Rizki pulang dari rumah Lesti. Walau berat rasanya mengucap perpisahan pada Lesti, namun Rizki mencoba untuk tetap tersenyum.

(Flashback).

"A' Iki!..., tapi masih bolehkan kalo Dede mau main ke sana lagi, Dede masih mau bantuin Simbok di sana. Daripada di sini cuma ama bi Ina doang, jadi Dede mau ikut".

"Ehmmm.... gimana ya De, terlalu beresiko untuk mengajakmu ke sana, aku nggak ingin Dede bernasib sama dengan Putri yang terluka karena terlalu sering bersama kami. Tapi kalau alasan Dede ikut adalah untuk ketemu Simbok, kayanya A' Iki bolehin. Mengingat libur panjang masih ada dan Dede nggak ngapa ngapain di rumah. Satu syarat yang terpenting De....".

"Apa?!, apa syaratnya?!".

"Walaupun saat di sana nanti A' Iki akan terus bersama Dede, melindungi Dede, tapi Dede harus janji untuk tetap waspada, untuk tetap siaga kalau kalau ada bahaya yang mengintai".

"Sebegitu bahayanya ya A' Iki?", Lesti terlihat bingung dan ragu.

"Gimana?, setuju nggak?", tanya Rizki.

"Eeehh... ya deh Dede setuju..., janji...", ucap Lesti ragu-ragu.

Sesaat kemudian Rizki tersenyum senang, sepertinya beban yang dipikulnya sudah hilang tak membebankan lagi, dia memeluk Lesti, mendekapkan wajah Lesti di dadanya.

...

"A' Iki!!, itu tasnya nggak papa di taruh di depan gitu?!!", teriak Lesti yang agak bergetar bersamaan motor Rizki yang melaju kencang.

"Eh ehm, nggak papa kok De, udah kamu pegangan aja yang kenceng kalo takut".

Lesti menurutinya, memegang erat jaket merah marun Rizki karena takut dibonceng di atas motor yang melaju secepat itu. Jalan sesekali tak rata dan bergelombang dengan kerikil, polisi tidur, juga kubangan. Lesti sesekali reflek memegang lengan Rizki yang polos tak ditutupi jaket itu karena kaget,

"A' Iki jangan ngebut ngebut dong, pelan pelan aja, Dede kaget nih".

Rizki agak menengokkan kepalanya ke samping, tangan kirinya melepas pegangan Lesti pada lengannya, membimbingnya untuk kembali memegang jaketnya di bagian perut,

"Nggak papa Dede...., biar cepet sampenya, Dede pegangangan aja yang kenceng, tenang..., A' Iki ahlinya", kata Rizki meyakinkan Lesti.

Lesti lagi-lagi menurut, dia tak bisa berbuat apapun selain terus mencengkram jaket Rizki, dan memejamkan matanya karena takut.

'Rasanya ini adalah hari terindah menurutku. Setelah sekian lama, dan kemesraan ini kembali kulalui lagi, beruntungnya aku memilikinya, membuatku yang tadinya terlalu emosional dan kekanak kanakan jadi dewasa, punya tanggung jawab untuk terus melindunginya. Sampai kapanpun aku akan terus melindunginya, menyayanginya, karena dia adalah anugerah terindah untukku'.

...

"Apa Mama nggak salah dengernya Ki?, kamu mau balik ke Jogja?, kok cepet banget, kayanya baru kemarin kamu sampai di sini Ki".

Ridho yang kebetulan lewat dari arah teraspun langsung berhenti terkejut,

'Pulang ke Jogja?!!, apa yang dipikirkan Rizki sekarang?. Baru pagi kemarin sampe sini, terus kenapa dia mau secepat itu pulang ke Jogja?, pasti ada sebuah alasan atas semua ini. Rizki tak akan pernah melakukan apapun tanpa sebuah alasan yang jelas, dan alasan itu pastinya sudah dia pikirkan matang matang sebelumnya', heran Ridho dalam hati.

Ridho memang belum tahu tentang peristiwa yang terjadi pada Putri kemarin, kalaupun dia tahu, dia pasti akan berniat pulang ke Jogja juga, persis seperti yang ingin Rizki lakukan. Ridho berjalan mendekat, dia berdiri di samping Rizki dengan tetap diam menyimak pembicaraan mereka.

"Sudah lama sejak hari itu Rizki ambil barang di sini sampai hari ini Ma, Iki nggak pingin mbuat Simbok dan Bapak harap harap cemas menunggu kami yang belum juga pulang atau sekedar memberi kabar".

"Terus kenapa Iki nggak beri kabar mereka kalau Iki di sini?".

"Itu ceritanya panjang Ma, tapi intinya Iki nggak bisa lama lama di sini".

Lesti yang ada di samping Rizki hanya diam saja. Dia juga melihat Ridho datang dan diam menyimak, dia pun juga tetap diam, sekiranya tak ingin mengganggu pembicaraan ibu dan anak angkatnya itu. Mata bu Vena berbinar, berkaca-kaca menatap Rizki dengan penuh haru. Dia mengusap kedua pipi Rizki dengan lembut, dan menghentikan tangannya tepat di tengah pipi Rizki, seolah menyanga pipi Rizki agar tetap dalam posisinya.

"Kadang Mama takut semua ini akan terjadi Iki, hari dimana kamu tumbuh besar, tahu segala hal, dan bahkan tahu tentang jati dirimu sendiri, sampai sampai Mama tak punya kuasa untuk melarangmu lagi. Meski Mama tahu tindakan Mama untuk menguasai dirimu dan memisahkanmu dari Fatimah ibumu adalah hal buruk. Tapi Mama bersyukur telah melakukan itu, dan memiliki kesempatan untuk merawatmu sekaligus menyayangimu. Mungkin Mama benar benar harus tabah merelakan, karena mungkin kesempatan ini sudah habis dan tak bisa diminta lagi", bu Vena meneteskan air matanya, dia tak bisa membendung semua kesedihan itu lagi.

Rizki berusaha tetap tegar, dia tak ingin menangis di depan bu Vena setelah terakhir kali dia menangis itu.

"Ma..., Rizki sudah besar, bukan anak kecil lagi, Rizki bisa jaga diri Ma, dan mama nggak perlu khawatir dengan Rizki", ucap Rizki mengusap bahu Mamanya itu.

Bu Vena tak kuasa menahan tangis, dia membenamkan wajahnya di pundak Rizki.

dari kemarin nangis nangis melulu ya??

sabar... sabar..., dibalik kesedihan ada kebahagiaan

salam diksi

salmanpicisan

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang