CXVIII (b) - Masih Sahabat

421 41 0
                                    

"Begitu toh Bud..., tapi seingatku meeting dengan CEO perusahaan besar itu udah selesai sejak dari tadi sore, ini kan sudah malam Bud...., apa masih ada meeting?", tanya Rama lagi.

'Sial...., dia tahu...., baru ingat kalau Rama itu assistant manager perusahaan sebelah yang membernya juga ikut meeting tadi...., mau ngomong apa lagi sekarang?'.

"Oh... eh... anu Ram...", Budi ragu..., dia bingung memilih kata-kata yang tepat untuk beralasan.

"Mungkin tadi kamu lihat aku ya Bud...., pantas langsung mampir, hahaha", guyon Rama.

Budi mengangguk dan tersenyum, senyumnya itu terlihat dipaksakan, dia sedikit lega karena tak perlu beragumen menjawab pertanyaan Rama. Rama menyeruput isi cangkir porselen kecil yang ada di depannya.

"Aduh jan..., aku lupa belum memberi suguhan buat tamuku yang satu ini...." ucap Rama yang kemudian berdiri pergi.

'Apa aku benar harus mengambil anaknya Rama?, tapi gimana caranya?', Budi bingung, dia sedikit menengok ke arah Fatimah istri Rama yang tertidur pulas di ranjang pasien.

Pandangannya kemudian teralihkan ke arah dua orang bayi yang juga tertidur di sebuah keranjang bayi yang cukup lebar di samping Fatimah. Dia menelan ludah, dia benar-benar tak tahu harus bagaimana sekarang.

Selang beberapa lama, Rama kembali membawa secangkir teh hangat dan setoples penuh kue kering. Dia meletakannya di atas meja, di depan sofa ruangan itu, dan kemudian mempersilahkan Budi untuk menikmatinya. Dengan tetap canggung Budi hanya diam, dia tak sedikitpun menjamah makanan yang sudah dibawakan Rama itu.

"Ayo Bud, jangan sungkan...., halah anu cuma biskuit kukis buatan rumah Bud..., ayo dinikmati buat temen ngobrol", tawar Rama dengan ramah.

"I..iya Ram makasih".

...

"Istrimu sudah lama hamilnya Ram?", tanya Budi, yang entah kenapa tiba-tiba memulai pembicaraan.

"Kamu ini lho Bud, la wong istriku aja sudah melahirkan begini, ya pastilah udah lama Bud".

'G***** banget aku ini!!, kenapa malah nanya gituan?, aduh..., malah jadi tambah canggung....'.

"Hehe iya ya...", jawab Budi merasa konyol sendiri karena sudah bertanya.

"Tapi kenapa kamu nggak kasih kabar ke kita Ram?, aku dan Vena?, kita masih sahabat kan?".

"Apa maksudmu Bud?, tentulah..., kita ini sahabat sejak lama", bantah Rama.

"Lalu kenapa nggak kasih kabar?, kami kan juga akan bahagia dengan kabar tentang anakmu".

"Ya..., gimana ya?....., ya mungkin kami terlalu senangnya dengan kedatangan mereka Bud, terlalu sibuk memikirkan persiapan kedatangan anak anakku ini, sampai....".

"Eh, tunggu dulu....", seru Budi memotong pembicaraan.

"Apa?".

"Anak anak?, jadi benar anakmu kembar?", tanya Budi seolah-olah baru mengetahuinya.

Rama tersenyum, wajahnya terlihat senang, matanya menghadap lurus pada keranjang bayi di depan sana.

"Itu lihatlah", kata Rama menunjuk keranjang bayi di samping ranjang tidur Fatimah.

Budi mendadak menjabat tangan Rama, dia mengucapkan selamat,

"Wah selamat Rama...., semoga jadi bapak yang baik ya".

"Iya iya makasih Bud, kamu berdua cepet nyusul ya....".

Mendadak Budi jadi murung,

"Yah.... Mungkin kalo kami bisa nyusul Ram..., apa kau tahu istriku itu mandul". "Oh ehm iya, aku lupa tentang itu...., maaf Bud".

"Kami juga kecewa karena kamu nggak bilang bilang tentang kelahiran anakmu Ram, kita masih sahabat kan?".

"Ngomong apa kamu Bud?, kita ini tetap sahabat, lagian kamu juga udah tahu sendiri sekarang".

Budi diam, dia mengambil cangkir penuh teh hangat di depannya, dan meminumnya beberapa teguk. Mereka berdua terus berbincang hingga larut malam. Budi sesekali masih canggung tentang permintaan istrinya yang harus segera dikabulkan itu. Dia terus memikirkan cara yang tepat, untuk mengambil salah satu anak Rama sahabatnya.

...

Tepat pukul 12.30 malam,

Fatimah masih tetap tidur di ranjangnya, bersama kedua bayi kembarnya yang terlihat begitu pulas. Begitupun Rama, dia yang tadinya banyak bicara dengan Budi malah ikut tertidur di sofa. Sedangkan Budi, dia masih tetap terjaga, matanya terus mengawasi keranjang bayi tanpa berpaling sedikitpun.

'Apa ini kesempatannya?.....,tapi.... aku takut menghianati persabatanku kalau aku menculik anak Rama...., apa setelah ini......apa masih sahabat?', Budi begitu ragu.

Tapi entah karena naluri, dia malah berdiri pelan, berusaha untuk tidak membangunkan Rama di sampingnya. Dia merangkak menuju keranjang bayi itu, mendongak dan melihat kedua bayi mungil yang terpejam.

Tangannya maju, merangkul, lalu kemudian membopong seorang bayi dari keranjang. Bayi itu tetap terjaga, karena Budi melakukannya dengan pelan, dan lembut. Budi melangkah pelan ke arah pintu keluar, dia pergi membawa bayi tanpa sepengetahuan siapapun.

'Kau akan jadi penghibur istriku yang sedih, jadilah anak penurut, akan ku beri kau kasih sayang, Rizki'.

'Kau akan jadi penghibur istriku yang sedih, jadilah anak penurut, akan ku beri kau kasih sayang, Rizki'

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang