CIX - Terima kasih

529 69 3
                                    

Cinta ini seolah jubah

Yang selalu ingin ku taruh menutupi bahumu

Tapi kenapa, apa salahnya

Tega kau lepas jubah pemberianku

Kalau saja arang dapat mencair

Akan mengapa jerup ini bisa kembali

Lathifa serasa sepi tanpa jubah itu

Nyatanya hangat itu ialah nafasku

Kembalikan!, aku rindu

Rizki tak kuasa menahan matanya lagi. Dia segera merangkul ‘Mamanya’ itu, memeluknya erat dan perlahan meneteskan air matanya.

“Mama tahu kamu bukan anakku, tapi Mama sayang sama kamu, Mama nggak ingin kehilangan kamu”, ucap bu Vena dalam pelukan Rizki.

“Makasih…., makasih udah merawatku, udah membesarkanku, udah buat aku tahu segalanya”, balas Rizki.

Mereka kemudian saling merasakan kehangatan satu sama lain, melepas rindu satu sama lain, seolah rujuk setelah kekecewaan hilang dari Rizki. Dia dulu kecewa dengan kenyataan, kenyataan bahwa ‘Mamanya’ bukanlah orang yang melahirkannya.

Kenyataan bahwa bu Vena itu adalah orang yang menculiknya, membawa paksa dirinya pergi jauh dari kehangatan orang tua, juga memanfaatkannya untuk mengobati rasa sepi karena tak punya anak saja. Dia pernah berpikir, bahwa ‘Mama Papanya’ itu egois, tak pernah bisa tahu rasanya ‘diambil paksa’.

Tapi sekarang, entah kenapa, yang tadinya dia hanya berniat menumpang selama tinggal di Jakarta, tapi setelah kata-kata bu Vena itu diucapkan, rasanya perasaan itu kembali datang pada Rizki.

Perasaan cinta, rasa kasih sayang, pada dia yang selama ini merawatnya, membesarkannya seperti anak sendiri. Kekecewaan Rizki sekarang mulai luntur, kehangatan rasa sayang yang sudah terlanjur pada bu Vena sudah muncul dalam hatinya.

Malam kian larut. Rizki menyenderkan tangannya di jendela, matanya melihat ke luar, menatap bintang-bintang yang mengelilingi bulan di atas sana.

“Hari itu, ya, aku ingat banget hari itu, hari melelahkan setelah ber jam-jam beres-beres baju buat paginya mau ke Jogja bareng Ardi. Aku ingat bener, aku ingat pernah melongok keluar jendela kaya gini waktu itu, maunya sih buat ngademin badan biar nggak keringetan, tapi malah silau kepanasan, mataharinya terik waktu itu”.

Rizki menunduk, memejamkan matanya, dan menghela napas panjang. Dia kemudian mendongak lagi, mengubah posisi tangannya menyilang di depan dada.

“Tapi sekarang ini malam, nggak panas, nggak terik, justru malah adem, sambil liat bintang di sana”.

Euhhh…… hahhh…..!”, Rizki menghela napas lagi.

“Aku nggak ngira, kalau waktu itu, setelah aku berpaling dari jendela ini, kemudian ambruk di atas kasur itu, paginya….., paginya aku dapat kenyataan hidupku, dan kemudian perlahan tentang jati diriku. Terus seumpama aku nggak ke Jogja waktu itu……, apa aku bisa begini?, apa aku masih akan dibohongi tentang jati diriku. Cz, lupakan, aku nggak mau mengungkitnya lagi”.

Seseorang membuka pintu kamar itu, menekan saklar dan menyalakan lampu. Dia perlahan mendekat pada Rizki, mengusap punggungnya pelan. Rizki terkejut, dan langsung menoleh ke belakang.

“Dede…”, gugupnya dengan tatapan mata sayu, berkaca-kaca yang tak dapat ditutupi.

“A’ Iki kenapa?, A’ Iki sedih kenapa?”, heran Lesti,

memegangi pundak Rizki.

Rizki salah tingkah, dengan reflek dia mengusap matanya, mengedipkannya beberapa kali.

Euhhh eh ohh… enggak papa De”, Kata Rizki salah tingkah. Lesti berpaling, mendekati jendela, dan kemudian mengikuti Rizki dengan menyenderkan tangannya di jendela.

“A’ Iki”, sapa Lesti lembut.

Hmm”.

“Aku bangga A’ Iki”, sambung Lesti.

“Bangga kenapa?!, sama siapa?”.

Lesti menoleh ke Rizki yang masih gugup, untuk pertama kalinya di depan Lesti, Rizki merasa gugup, gugup karena tertangkap basah sedang berkaca-kaca akan menangis. Mungkin itu memalukan bagi Rizki.

“Bangga denganmu A’ Iki”.

Hening.

Rizki tak menjawab perkataan itu, dia malah sibuk membenahi raut wajahnya agar tidak terlihat sedih. “Selama ini, A’ Iki yang ku kenal adalah A’ Iki yang pemarah.., bandel, juga nakal, tapi…… aku nggak sangka, A’ Iki punya kelembutan, kehangatan, yang A’ Iki simpan di hati A’ Iki, untuk orang yang A’ Iki sayang”.

Deg.

Rizki tertegun mendengar itu, dia menatap Lesti hangat, matanya kembali berkaca-kaca lagi.

“A’ Iki…..”.

Spontan, kemudian Rizki memeluk Lesti, membenamkan wajah Lesti di dadanya. Dia meletakan dagunya menempel pundak Lesti, memeluknya erat, dan perlahan meneteskan air matanya. Lesti membalas pelukan itu, dia mengusap-usap punggung Rizki, menenangkannya. Tangis Rizki tak tertahankan di depan Lesti, walau senakal apapun Rizki, dia tetap lembut.

“Dan Orang yang A’ Iki sayang.., itu termasuk kamu Dede”.

Hey readers
Alhamdulillah twins udah hampir 110 episode
Dan tepat bulan oktober depan, twins udah satu tahun
Nggak kerasa ya

Apa sih kesan kesan kalian selama membaca twins

Atau mungkin ada yang ingin ditanyakan tentang twins?

Mungkin juga sekedar kritik saran buat author.

Yuk kirim pendapat(kesan, kritik, saran, pertanyaan) tentang twins di kolom komentar.

Yang beruntung akan di muat di QnA pada update yang akan datang

Minta komentarnya ya readers

See you
Salam diksi
Salmanpicisan

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang