CXXXIX - Tanpa Henti

287 23 0
                                    

Larik umpama seolah tak berhenti

Mengalir dari waktu

Nubuat takdir

Luka ini selaksa bocoran tanpa bendung

Mengalir dari waktu

Elegi keji

Hati ini menampung duka tiada kata

Mengalir dari waktu

Tangis ismiya

Kemarahan Rizki tak terbendung, dia menebaskan pedang apinya yang berkobar itu berkali-kali. Dan berkali-kali pula, Kusuma, sang Kusumadipati pertama yang sekarang menjadi lawan tanding Rizki itupun berhasil mengelak dengan lancar.

“Ojo ngindar!!, kowe kuwi pantes ngrasani loro!!(Jangan mengelak!!, kamu pantas merasakan sakit!!)”, seru Rizki di sela-sela percobaannya menebas tubuh Wijaya yang berkali-kali gagal.

“Loro??, opo amung kuwi sing wus kok gawe mareng kabeh atine wanita(Sakit??, apa itu yang sudah kau buat pada semua hati wanita)”, elak Kusuma.

“Kakean mbacot a**!!!(Kebanyakan bicara ******!!!)”, Rizki mengayunkan pedangnya sekuat-kuatnya.

Kusuma mengelak, pedang Rizki langsung menancap tanah.

Selang beberapa detik setelah pedang itu menancap, tanah bergetar hebat, dan sekejap langsung runtuh ke bawah, seolah-olah di bawah tanah masih ada permukaan yang jauh di dalam. Tanah runtuh, dan dengan cepat, semua yang semula tanah langsung dipenuhi lahar api yang bergejolak.

Dengan tanah runtuh, tidak serta-merta membuat Rizki langsung jatuh masuk ke dalam lahar, dia melayang, tubuhnya tak dipengaruhi grafitasi.

Tapi anehnya, Kusuma juga tidak jatuh ke dalam lahar, dia juga ikut melayang, seolah bukan benda yang dipengaruhi grafitasi. Pedang Rizki yang tadi menancap sekarang melambung tinggi ke arah Rizki. Rizki menangkap pedang itu, dan kemudian mengacungkan pedang itu ke arah Kusuma dengan tatapan marah.

Pedang bara api yang bentuknya hampir mirip trisula dengan ujung runcing tengah yang memanjang sepagai pedang itu memang memiliki keistimewaan. Apapun yang ditebas tebang itu akan meleleh, lenyap, bahkan tanah yang ditancapi pedang itupun meleleh lenyap.

“Ora ngregani anggone ibu angkat kang wus ngrumat, nggedeake awak, kang wus menehi kaluwarga, uga welas asih. Ealah…, gedhene wani, ngecungake geni, mbentak, uga ora ngakoni anggone welas asih kang wus diwenehi… . Wong mangkono pantes mati, ora pantes oleh welas asih(Tidak menghargai ibu angkat yang sudah merawat, membesarkan diri, yang sudah memberi keluarga, juga kasih sayang. Ealah…, besarnya berani, memberi api, membentak, juga tak mengakui kasih sayang yang sudah diberikan… . Orang seperti itu pantas mati, tidak pantas mendapat kasih sayang)”

Rizki berlari maju, seolah di bawahnya ada tanah, meski dia sebenarnya melayang, dia berlari maju mengujamkan pedang ke arah depan menuju Kusuma yang melayang diam. Dia makin mendekat, Kusuma diam, tak ada perlawanan untuk berpindah pergi.

Rizki hampir meraih tubuh Kusuma, dia lalu memajukan pedangnya, tapi mendadak tubuh Kusuma lenyap, hanya tersisa asap hitam yang kemudian juga lenyap.

Mata Rizki terbelalak, musuhnya menghilang lenyap.

“Buukkk!!!”, hantaman cukup keras mengenai punggung Rizki,

dia langsung terpental, meski masih melayang di atas lahar. Rizki menoleh kebelakang, mencari tahu siapa yang memukulnya, namun tak ada siapapun, hanya batu seukuran kotak kardus yang tiba-tiba jatuh, masuk ke dalam lahar.

‘Apa ini…, kemana dia?, dan, sipa yang menghantamku?, apa batu itu?’, Rizki melihat pada batu yang sudah lenyap dalam lahar, dia agak bingung dengan apa yang terjadi.

“Tak tuduhi Le, tresno kuwi ora mung dolanan, salah gedhe anggonmu golek tresno, ngrajut asmoro, mung kanggo gagah-gagahan, pamer marang sambarang uwong. Gampang anggone nglarani ati, nggawe piloro, nggawe tetangis amarga lara ati wong wedok. Kowe ora pantes urip yen amung nglarani ati!, ora menehi katresnan(Aku beritahu padamu Nak, cinta itu bukanlah hanya mainan, salah besar jika kamu mencari cinta, merajut asmara, hanya untuk menang-menangan, pamer kepada semua orang. Mudah menyakiti hati, membuat tubuh jadi sakit, membuat tangis karena sakit hati wanita. Kamu tak pantas hidup jika cua menyakiti hati!, bukan memberi cinta)”, ucap sesosok suara tanpa wujud.

Rizki celingukan, mencari kesana kemari dari mana datangnya suara itu. Namun tak ada siapapun, Kusuma sepertinya lenyap, tapi entah kenapa suara Kusuma itu bicara tanpa wujud.

“Nang endi kowe k*p***!!, b*******!!(Di mana kamu k*p****!!, b*******!!)”.

Wajah Ridho merah tak tertahankan, dari dahinya muncul urat-urat yang menjalar, dia sepertinya menahan dengan kencang. Menahan kedua tangan Jay yang mencekiknya kuat-kuat,

“Hahaha!!!, bagaimana rasanya sekarang?, apa kau hampir sekarat!, apa rohmu sudah akan lepas dari ragamu!”, kata Jay dengan puas.

Ridho menyeringai, matanya terpejan, cekikan itu sepertinya sudah tak tertahankan. Dia mengeluarkan tangan kirinya, merentangkan kelima jari dan menekuknya ke punggung tangan, dengan ujung menghadap telapak tangan, itu adalah posisi mencakar.

Namun dia tak akan menggunakan tangannya itu untuk benar-benar mencakar, dari tangannya itu terbentuk gumpalan es yang meruncing seperti bor. Kemudian Ridho mengarahkan itu pada tubuh Wijaya, mendorongnya kuat ke depan. Wijaya tak berteriak, dia haya terpental ke belakang cukup jauh. Ridho lolos dari cekikan mematikan itu, dia mencoba berdiri,

“Aku tak akan kalah di dalam medanku sendiri!!”.

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang