CXXXVIII - Kelemahan

285 31 2
                                    

Tak ada karang yang cukup kokoh

Meski solid tanpa goyah

Walau tak dapat tertawa

Sudah arzani seindah mawar

Digdaya tak boleh ditawar

Waktu yang makin merah nanar

Karena karang juga hilang tegar

Berlubang menyeruak binar

Laranya memancar

Ridho masih setia mendekap Putri, meratapi ketidaksadaran Putri. Dia tak sedikitpun peduli dengan kemunculan para Kusumadipati, ataupun peduli pada kakaknya yang sepertinya mulai masuk dalam ilusi Kusumadipati pertama.

“Put…, bangunlah, aku di sini menunggumu membuka mata…”.

“Kau masih sama seperti yang dulu anak es…, lemah!, lemah pada wanita!”, ucap sesosok suara yang datang mendekati Ridho.

Dia Wijaya, berjalan perlahan, dan kemudian menepuk pundak Ridho yang tersusuk dari belakang. Ridho menoleh, melihat sosok yang sepertinya tak asing, tapi anehnya, mata sosok itu putih, tanpa bola mata.

“Hey anak es!!, bagaimana kabarmu!”.

Ridho mengingat betul orang itu, dialah orang yang pernah dia temui di sebuah gubug reot dulu itu, yang menyarankan Ridho untuk memisahkan Lesti dari Rizki, juga yang mengakari permasalahan itu, membuatnya sekarat ditusuk pedangnya sendiri. Wajah Ridho terlihat tenang, biasa saja, walaupun dia sudah tahu siapa orang itu.

“Kenapa dia?”, sambung Wijaya melihat Putri yang tak sadarkan diri. Ridho diam saja, tak ada kata-kata apapun terucap dari mulutnya.

“Nah kan!, apa kataku dulu…, kau harus pisahkan hubungan mereka biar dia ngga mati!, dan lihatlah…, ini akibatnya kau tak mendengarkan perkataanku…, huahahaha”, ejek Jay pada Ridho.

Ridho masih tetap diam, matanya merenung menatap Putri.

“Percuma kau mengikuti semuanya di bawah kendali bocah api itu, itu semua percuma kalau akhirnya kekasihmu, tambatan hatimu ini mati!, dasar b****!”, Jay terus mengulang-ulang perkataannya, dia berusaha menggoyahkan ketenangan Ridho.

Dan lagi-lagi Ridho tetap tak meresponnya, dia malah membelai rambut Putri lembut, memeluknya erat.

“Percuma kau pertahankan sebujur jenazah, raga yang tak punya nyawa, kau tahu…, kau tahu itu kan…, sampai pegal-pegal tubuhmu memeluknya, dia tak akan kembali bangun tahu!”.
Ridho memejamkan matanya, makin erat memeluk Putri. Tubuhnya tiba-tiba bersinar putih terang, dan,

“Pyasss!!!”, seketika semua yang ada di sekitarnya beku, tertutup es, Ridho menghentikan waktu.

Itu adalah bentuk lain penghenti waktu Ridho dari biasanya dengan mengeluarkan bola cahaya putih yang meledak.

Waktu berhenti, semuanya beku, tapi anehnya Wijaya tak ikut membeku. Secara logis, kekuatan penghenti waktu Ridho hanya bisa berjalan pada semua hal yang dipengaruhi waktu. Kekuatan itu menghapus pengaruh waktu, dan membuat semuanya seolah berhenti, namun sambil diselimuti es.

Jika Wijaya tak terhenti, satu alasan logisnya adalah dia tak terpengaruh waktu. Wijaya memang sudah mati, namun dia seketika hidup sekali setelah mantra pembebas itu terbaca. Hidupnya kali ini mungkin bukan hidupnya yang dulu, dia bukan manusia melainkan sebuah sosok rekaan dari sebuah kekuatan.

“Tak sememudah itu kau membuatku berhenti bersamaan dengan waktu yang berhenti, wujudku kali ini adalah wujud yang kekal, bukan wujud rapuh, lemah, seperti pmilik pacarmu itu yang gampang mati…, dan seperti wujudmu juga…”, sombok Jay.

Ridho masih berusaha tenang, dia tak bergeming dari posisinya yang sekarang berdiri, bangkit dari sebelumnya terduduk memangku Putri. Dia berdiri di samping tubuh Putri, yang sudah dia bujurkan dengan perlahan agar Putri nyaman. Dia berdiri menghadap Wijaya, namun hanya menatapnya datar, tak berkata apapun.

Tak lama sesuatu terjadi, di sekeliling Ridho, Putri, juga Jay yang awalnya beku tertutup es, mendadak membentuk sebuah kubah dari es yang sangat bening, melingkup membentuk setengah lingkaran, dengan Ridho sebagai pusatnya.

Ternyata, penghenti waktu Ridho tak berhenti begitu saja, penghenti waktu itu membentuk kubah es yang mana daerah di dalam kubah dikendalikan oleh manipulasi waktu milik Ridho.

“Apa ini…, kau membuat medanmu sendiri, dan bodohnya aku baru tahu sekarang, ternyata kau diam, namun menghanyutkan…”, seru Jay yang sadar bahwa dia masuk dalam kendali kekuatan Ridho.

Ridho tak menyahut sedikitpun, dia malah membuat selimut es yang kemudian membelit Putri, menempatkannya dengan nyaman, juga aman, sebagai wujud perlindungan untuk Putri.

“Sial!!”, Wijaya berjalan menuju ujung dalam kubah kaca es itu, dia memukul-mukuli es yang tebal itu berkali-kali.

“Percuma…, kau tak akan bisa keluar dari kendaliku, kau tak akan bisa mengendalikanku”, seru Ridho tiba-tiba. Wijaya berbalik badan, dia meras sudah ditipu. Ridho dengan tetap tenang mengangkat kedua jarinya, menghentakannya dengan cepat, dan,

“Wuzzz”, jarum es yang cukup runcing dari dinding kubah  melesat tepat menusuk lengan Wijaya.

Jarum itu cukup besar, membuat lengan kiri Wijaya langsung putus seketika. Ridho menghentakan jarinya lagi, dan seketika jarum es itu menyusut kembali pada dinding es. Ridho mendekat pada Wijaya, dan bertanya,

“Bagaimana sekarang hah!!”.

Wijaya tersenyum bengis, sekejap dirinya memulihkan diri, tangannya tumbuh dari dalam, cukup mengerikan. Tangan baru itu langsung menyambar, mencekik leher Ridho dengan kencang. Ridho yang tadinya tak bicara, sekarang malah tak dapat bicara, dia kesulitan bernapas.

“Aku akan membuatmu pergi bersama kekasihmu itu ke alam lain anak es!”.

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang