CXXXV - Aku Bukan Apapun

287 31 11
                                    

Aku hidup dengan rasa

Untuk mengejar harap

Dalam mata yang menunggu

Cinta adalah waktuku berasa

Menikmati dengan harap

Hilang, tanpa ragu

Tapi lebih baik binasa

Karena cinta khianati harap

Menunggu dalam termangu

Matahari makin naik, makin berpindah ke barat. Perlahan langit kulon yang tadinya biru cerah mulai berganti jingga.

Walaupun begitu, suasana di sungai itu masih tetap sama, sepi, sunyi, meski sesekali berisik karena riak air. Putri, dia berdiri menatap air yang terus mengalir di bawah jembatan bambu, tangannya menyandar pada pegangan jembatan, sambil sesekali mengusap matanya yang terus berlinang. Putri hanya sendiri di sungai itu, tak ada siapapun, hanya berteman suasana senja yang sunyi, sepi.

"Aku...., tak layak hidup lagi..., ketimbang aku makin lama makin banyak...., mmembunuh siapapun..., orang yang aku sayang...", ucap Putri frustasi sambil terus minitihkan air matanya yang berkilau.

Dia memandangi bayangan dirinya di permukan air di bawahnya, wajahnya terlihat sangat kacau.

"Aku cuma mau bahagia dengan Ridho, tapi karena kekuatan ini, karena kutukan sialan ini, Ridho bahkan tak menganggapku lagi, Ridho tak mencintai aku lagi sampai sebegitunya".

Putri terus menangis, air matanya berjatuhan, menetes, dan kemudian menyatu pada permukaan air sungai di bawahnya. Pikirannya tak focus, pikirannya melayang, membayangkan masa lalu, bersama Ridho, bersama keluarganya yang begitu indah, begitu bahagia.

'Aku ingat betul, aku pernah memarahi Ibuku, membuatnya bersedih karena perkataanku...., aku sangat menyesal kala itu...., tapi..., tapi apa boleh aku menyesal untuk yang satu ini, aku bukan lagi memarahinya, aku membunuhnya!!!, air matanya pasti habis, menangisiku di alam sana, dia tak akan tenang di sana, dia pasti terus menyesali...., menyesal kenapa dulu dia melahirkanku, kenapa dia mengharapkanku untuk hidup, dan..., membunuhnya. Aku ini memang anak kurang ajar!!, durhaka!!. Aku ini iblis!!, aku monster!!, mesin pembunuh', batin Putri kacau.

Kakinya gemetaran, tak kuat lagi berdiri, dia kemudian menjatuhkan tubuhnya, terduduk di atas jembatan bambu, dengan tangan yang masih memegangi pegangan jembatan.

"Ridho...., dia yang paling tahu aku, dia yang paling mengerti aku..., pasti karena itu dia juga tahu aku akan membunuhnya, hingga menghinaku seperti tadi..., tak lagi ingin melihat monster sepertiku..., padahal awalnya aku ingin minta bantuannya, tapi setelah kata-kata itu..., keluar dari mulutnya, baru aku tahu kalau dia egois, hanya peduli dengan dirinya, tak mempedulikanku lagi..., tak seperti dulu lagi. Dan mungkin, cintanya padaku, rasa sayangnya padaku itu pun cuma palsu, dia tak benar-benar mencintaiku', Putri perlahan mulai putus asa, dia mulai hilang harapan.

"Aku tak punya apapun untuk disinggahi, kekuatan ini membuatku sebatangkara, juga sengsara", dia benar-benar tak dapat membendung tangisnya yang terus menderu.

"Aku tak tahu berapa lagi lama waktuku sadar seperti ini, sebelum aku berubah lagi, dikuasai kekuatan itu lagi..., aku tak tahu harus apa, aku hanya bisa menangis sekarang", seluruh tubuh Putri gemetaran, dia tak kuat melakukan apapun selain menangis kencang.

"Aku butuh sandaran sekarang ini!!, tapi... apakah aku si pembunuh ini pantas dapat sandaran..., aku hina!!, aku keji!!, aku pembunuh ibuku sendiri!!!".

Tak ada orang yang mendengar semua umpatan Putri, keluh kesahnya itu. Dia terus menderukan isakannya dengan bebas, dengan puas, menikmati setiap jengkal kesedihannya.

...

Sudah lima belas menit berlalu, dan air mata Putri sudah banyak yang mengalir. Matanya makin sembam, tapi seolah dia tak peduli, dan terus menangis.

Dia kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan pisau dari dalam sakunya. Sejenak dia menatap pisau itu, pisau yang terlihat berkilau memantulkan cahaya matahari senja.

"Mungkin, inilah akhirnya, inilah akhir hidupku!!".

Tangan Putri mengayunkan pisau itu mengarah ke dadanya,

namun bersamaan dengan itu, secepat kilat,

sebuah tangan menggenggam tangan Putri yang masih mengayun, dan berkata,

"Tresno kuwi roso, kang anyesse mbakar wiraga, Welas asih dadi raketing wirasa, kanthi peteng bisa mudhar suci, kanthi muspro ora dadi kasio-sio....".

"Ziiinggg.....!!!",

belum genap satu detik saat mantra itu terucap, dan juga belum genap ayunan tangan Putri menyentuh dadanya, muncul cahaya Putri yang bersinar kuat, dari tangan Putri yang di genggam.

Tak ada sepasangpun mata yang tidak silau karena cahaya itu, cahaya itu menyebar cepat, bersingat sangat terang, sampai-sampai mengalahkan sinar matahari senja.

"Aku tak akan membiarkanmu jadi orang lain!!!".

"Aku tak akan membiarkanmu jadi orang lain!!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang