XCVII - Ingin Kembali

673 86 7
                                    

Tak bisakah rajutan ini tersatu kembali

Setelah sebuah fatamorgana yang menggunting tlah berlalu

Aku ingin kembali

Resapi hangatnya kebersamaan kita berdua

Di bawah naungan bintang cygnus yang berduka

Jadi, apa kau tak ingin kembali?

Untuk buat purnama lagi di antara rasa kita

Yang terus terpancar dari setiap lubuk ismiya

Dimiliki, dan memilikimu lagi

Rizki membuka pintu taksi yang sudah berhenti itu.

Dia kemudian keluar, dan berdiri di depan ger8bang rumah itu. Rumah yang waktu itu dia gunakan untuk bertarung, mengeluarkan api dan lavanya.

Membakar semua tanaman hidup, dan membuat hangus pagar, tembok, juga jalan yang dia injak sampai sekarang. Rumah itu sepi, ada satu yang janggal.

‘Di mana motorku?’.

Rizki segera berlari ke dalam gerbang, memastikan apa motornya ada di dalam.

Ya, benar, motor itu ada di dalam, terparkir di luar garasi rumah megah itu. Sepertinya sudah disingkirkan di sana agar tak diambil orang.
Siapa yang menyingkirkannya,

Lesti, dia masih peduli’.

Dia menghampiri motor itu, motornya masih bagus, tapi ada satu yang kurang.

Di mana tas ranselku dan Ridho?, apa Lesti sudah menyingkirkannya?’.

Dia kemudian beranjak ke depan rumah, dan tak lama berdiri tepat di depan pintu.

Sesekali dia mengamati sekitar, siapa tahu ada seseorang sama seperti hari itu, tapi tak ada siapapun. Pintu terbuka sebelum Rizki mengetuknya. Rizki menoleh, ternyata Bi Ina pembantu Lesti.

Eh, Nak Rizki?, mau cari non Lesti ya?, dia barusaja pergi”, sapa bi Ina.

“Pergi, pergi ke mana Bi?”, tanya Rizki.

Bi Ina keluar, sambil menenteng sekantung kresek sesuatu, dia kemudian berjalan ke arah tong sampah di depan rumah, dan membuangnya, ternyata yang dibawa itu hanyalah sampah.

Bi Ina kembali, dan berhenti di depan Rizki,

“Silahkan Nak, masuk dulu”, tawar bi Ina dengan sopan.

Rizki menuruti, dia masuk dan segera duduk di sofa. Bi Ina masih berdiri, sambil terus menatap tubuh Rizki yang ada bercak darahnya.

“Kenapa Bi?”, tanya Rizki pura-pura tak tahu.

Oh ndak papa”, sangkal bi Ina.

“Nak Rizki mau minum apa?”, imbuh bi Ina mengalihkan topik.

“Air putih saja”.

Bi Ina lalu pergi ke dapur, meninggalkan Rizki yang duduk di sofa. Rizki menatap jam di dinding, waktu menunjukan pukul empat sore.

“Udah sore, biasanya Lesti jam segini di rumah nonton drama, dia kemana ya sekarang?..., nggak biasanya?”, celetuknya sendiri.

Lesti, aku ingin bersamamu lagi, aku ingin kembali’.
Lima menit kemudian bi Ina datang sambil menenteng segelas air.

“Ini airnya Nak”, ucapnya setelah meletakan gelas di meja.

Rizki mengambilnya, dan kemudian menengguknya. Bi Ina duduk, dan masih memandangi Rizki tanpa berani bertanya.

“Lesti kemana Bi?”.

“Non Lesti, pergi bawa tas yang ada di motor merah di luar”.

“Motor saya?”.

“Iya”.

“Mau ke mana dia Bi?”.

“Katanya mau jenguk Ridho ke rumah sakit, Bibi nggak tahu siapa Ridho, mungkin teman barunya”, terang bi Ina.

Hah!!”, kaget Rizki yang seketika mengagetkan bi Ina.

“Dia ke rumah sakit Bi?”.

“Iya”.

“Terus kenapa aku ke sini?”.

“Ndak tahu”.

Rizki kemudian berdiri.

”Ya udah saya pulang ya Bi!!”, seru Rizki yang kemudian berlari pergi.

Bi Ina hanya menatapnya dengan geleng- geleng, Tak lama, terdengar suara motor dinyalakan, dan kemudian motor itu berjalan pergi.

“Memang Ridho itu siapa?, sampai buat Nak Rizki langsung cepet cepet pergi?”, bi Ina memasang wajah setengah berpikir.

Ah sudahlah, itu urusan anak muda, aku nggak perlu ikut ikut”.

Bi Ina langsung berdiri, mengambil gelas minum Rizki tadi, dan membawanya ke dapur.

“Pasien tak boleh terlalu banyak mencerna makanan, lambungnya bisa perih, karena lambungnya kemarin juga ikut teriris, beruntung otot perutnya kuat, jadi lambungnya tidak pparah terluka, kata dokter Tyo, pasien harus banyak banyak istirahat, agar segera bisa regenerasi, pemulihan”, terang perawat itu.

Ridho dan Putri mendengarkan dengan seksama.

Perawat itu kemudian menggoret- oret kertas di atas papan yang dibawanya, mencatatkan sesuatu.

Tuh Dho dengerin, jangan banyak banyak makannya”, kata Putri pada Ridho.

“Nggak papa lah, abis makanannya enak, la wong kamu yang nyuapin sih”.

“Gombal mulu sih, sini tak cubit”, Putri kemudian mencubit gemas pipi Ridho lagi.

Auhhh….”. ringkik Ridho.

Tak lama pintu terbuka, seseorang datang dengan menenteng tas ransel.

Perawat menoleh, dan berpamit pergi,

“Ya, sudah saya keluar dulu, banyak banyak istirahat ya”.

“Terima kasih Suster”, ucap Ridho dan Putri kompak.

Kemudian mereka menoleh ke arah seseorang itu.

Orang itu menggeletakan ranselnya di pojok lantai, dan segera menuju Ridho.

“Lesti??”, heran Ridho, sedang Putri hanya diam saja.

“Hai Ridho?, gimana kabarmu?, membaik?”, sapa Lesti.

“Kamu datang”, sahut Ridho.

“Iya, njenguk kamu, sekalian bawa tas itu, Rizki pasti nggak mandi kan?, itu aku bawain tasnya”.

“Kamu tahu itu…”.

“Ya tahulah, aku kan…….”, Lesti terdiam tak melanjutkan perkataannya.

Ridho dan Putri menatapnya dengan heran.

“Gimana kabarmu Dho?”, imbuh Lesti mengalihkan topik.

“Baik, tadi pagi aku baru selesai operasi”.

“Alhamdulillah, semoga lekas sehat ya Dho”, Lesti tak hentinya menatap sekitar, mencari-cari seseorang.

“Aamiin”.

Putri tak bicara sedikitpun, dia malah menatap Lesti dengan ekspresi penyesalan dan penuh iba.

“Di mana Rizki?”, tanya Lesti begitu saja, dia tak bisa menahan lagi untuk menanyakan itu.

“Dia ke rumahmu mau ambil tas, tapi kau ke sini”, ujar Ridho.

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang