CXXIX (a)- Elegi Takdir

383 41 3
                                    

Emosi tak aka nada akhirnya

Jika terus digali dasarnya

Waktu tersia

Marah adalah bukti

Karna dirimu yang tak berarti

Hilang inti

Cinta yang meredam amarah

Pada masa berdarah

Jadi susahkah?

Matahari tambah meninggi, hari semakin siang, dan suasana hening sunyi pedesaan waktu pagi perlahan menjadi riuh dengan banyak orang berlalu lalang, beraktifitas.

Di perempatan jalan desa, tepat di jantung desa, terdapat beberapa kios-kios kecil yang digunakan untuk berjualan hasil sawah oleh beberapa warga. Karena alasan letak pasar yang jauh dari desa, beberapa warga lebih memilih mendirikan lapak sendiri di jantung desa sebagai gantinya pasar. Tempat ini tak kalah jauh berbeda dengan pasar, sama-sama ramai, tak sepi, banyak aktifitas perdagangan terjadi di sana.

Seorang gadis yang tadi terburu, memakai baju berbulu dengan rok panjang bermotif bunga warna merah muda, berhenti, sedang mengatur nafasnya, di tengah-tengah perempatan jalan yang ramai.

Entah kenapa dia bisa nyasar sampai ke pasar desa, tapi matanya itu tak berhenti mencari, menatap setiap orang yang ada di sana, mencari Rizki yang sedari tadi dicarinya. Dia tak tahu ada di mana Rizki, tapi perasaan khawatirnya terus mendorongnya untuk mencari Rizki, walau tak tahu di mana itu.

"Nggolek opo tho Nduk?(Mencari apa Nak?)", seseorang menyapanya.

Seorang nenek tua dengan rambut yang tak lagi hitam, memakai baju lusuh berbalut dengan rok kain jarit bermotif parang rusak, dia menenteng sebuah tas pasar yang sudah penuh dengan sayuran. Lesti menoleh, dia tak mengerti apa yang dikatakan oleh si nenek,

"Maaf, Nenek bicara apa?".

"Oalah Nduk, ra mudeng tho kowe, pesti bocah plesiran soko Jakarta iki(Oalah Nak, tidak paham kamu ya, pasti bocah jalan jalan dari Jakarta ini)", nenek itu tersenyum lebar sambil menepuk pundak Lesti yang sedikit lebih tinggi darinya.

"Gini tak ulangi ya Nduk, kamu ini sedang mencari apa Nduk?".

"Oh", Lesti menjawab pendek,

dan tersenyum sedikit karena baru dia paham apa arti perkataan si nenek,

"Saya sedang mencari pacar saya Nek".

Mendengar jawaban itu, si nenek tertawa,

"Hahaha... lha pacarmu kuwi ilang di mana tho Nduk?, direbut orang?".

Lesti jadi kikuk, dia yang tadinya fokus dengan keinginannya mencari Rizki, malah berubah mendengar perkataan si nenek.

"Tidak kok Nek", jawabnya pendek.

"Lha terus?, dimana?, ngilang?, kamunya ditinggal ya Nduk?. Berarti lananganmu kuwi nggak setia Nduk, pegat saja dia Nduk!, hahahaha".

"Nggak seperti itu Nek, ya sudahlah Nek, saya buru-buru, maaf, permisi...", Lesti langsung pergi begitu saja, berlalu meninggalkan si nenek yang bicara asal itu.

"Lah..., bocah lagi ditakoni apik apik, ra sopan, langsung mbalayang lungo(Lah..., bocah sedang ditanyai baik baik, tak sopan, langsung pergi)", omel si nenek dari kejauhan.

'Terserah Nenek itu mau bicara apa, aku nggak paham, yang penting sekarang aku harus temukan di mana A' Iki, aku takut dia kenapa napa', batin Lesti.

...

Jauh dari keramaian desa, di belantara hutan yang rimbun. Jarang warga desa yang masuk ke sana, mungkin hanya beberapa orang saja, yang berniat mencari kayu dan ranting-ranting pohon.

Sisanya, tak ada yang berani ke sana, apalagi setelah rumor yang banyak beredar, yang mengatakan bahwa di hutan desa itulah tempat munculnya jelmaaan siluman ular yang akhir-akhir ini sering meneror warga, warga lebih memilih tinggal di desa, daripada bertemu siluman ular di dalam hutan.

Tapi rumor itu memang benar, di situlah markas Wretaksanda, di dalam gubug kecil beranyaman bambu di dalam hutan tempat dia bersemedi. Menjauh dari keramaian, menenangkan jiwanya untuk bisa bersatu dengan pusaka cincin milik Nawang Wulan yang sakti itu.

Awalnya, Wretaksanda memang hanya seorang wargabiasa, nama aslinya pun bukan Wretaksanda,

melainkan Suyitno,

seorang pria jakung yang berprofesi mencari kayu bakar untuk dijual. Hidupnya sengsara, tak pernah merasa cukup, walaupun dia selalu mendapat uang dari menjual kayu bakar, tapi uangnya itu selalu dia habiskan untuk berjudi, minum alcohol, juga menyewa wanita.

Uang yang dia dapat hanya seberapa, namun dia selalu menaruhkannya untuk melakukan kesenangan-kesenangan itu. Karena ketamakannya itu dia terbelit banyak hutang, namun dia memilih untuk lari, dan tidak sedikitpun melunasi hutangnya.

Suatu hari, dia sedang mencari kayu bakar untuk menggenapi uangnya untuk nanti malam dia gunakan berjudi. Tak sengaja dia melewati sebuah gubug di dalam hutan, dan mendapati gubug itu menyala merah dengan aneh.

"Opo kae?, kenangopo gubug kae murub abang?, opo mergo iki malem Jumat?(Apa itu?, kenapa gubug itu menyala merah?, apa karena mala mini malam Jumat? )".

Karena rasa penasarannya, dia mendekat pada gubug itu, masuk kedalamnya, dan menemukan sebuah cincin akik bersinar merah delima tergeletak di dalam gubug. Dia mengambil cincin itu, memakainya, tubuhnya langsung tersengat, menyala merah seperti cincin itu.

Dia tak sadarkan diri, dan yang terjadi setelah itu, dia bangkit dengan mengendalikan para ular yang ada di dalam hutan. Membuat kekacauan di desa, untuk mencuri uang, menambah ketamakannya.

Dan gubug itu, dia menggunakannya untuk tinggal, karena dia tak mungkin kembali ke desa setelah apa yang sudah dia perbuat.

Dia menduduki bangku bambu di samping gubug, berteman seekor ular hijau besar yang belum dia lenyapkan sejak pertarungan terakhirnya tadi.

"Hmm..., aku sudah berhasil ngalahke keturunan Latu, keturunan sang widadari, jika aku juga bisa mengalahkan keturunan Warih sijine, aku pesti bisa nguasani kitab Aruna!, huahahaha!".

Dia terbahak dengan puas, mengelus-elus kepala ular besar di depannya, dia puas sudah bisa mengalahkan Rizki. Dia kemudian menciumi cincin purnama merah di jarinya dengan senang.

"Jika aku sudah memegang kitab Aruna itu, aku akan bisa meningkatkan kekuatan cincin keberuntungan ini, yen kuwi biso kadadean, aku bisa menguasai desa itu!, membuktikan pada wanita wanita yang cuma mau uangku saja itu bahwa aku ini kuat!!, aku ini berkuasa!!, huahahaha!!".

"Opo kowe ngaku kuat?!!, yen mung biso dolanan wong wedok!!, opo kowe nduwe kuasa?!!, yen ra biso mimpen wong wedok!!(Apa kamu mengaku kuat?!!, jika cuma bisa mainan perempuan!!, apa kamu punya kuasa?!!, jika tidak bisa memimpin para perempuan!!)", sesosok suara bicara dengan lantang.

Wretaksanda terkejut, dia mencatap ke sekitanya, mencari sumber suara itu.

 Wretaksanda terkejut, dia mencatap ke sekitanya, mencari sumber suara itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang