CXXIII - Hati Yang Tersembunyi

387 46 3
                                    

Dalam gelap massa cinta yang terfaktor

Waktu bertapa mesra

Jika ada kata yang meruncing hatimu

Buatnya nanar

Gelapku, jika untaian huruf menjadi mendung

Melingkup berdenyut ismiya ini

Sakit, serasa apakah beda

Apabila jiwa tertukar, menyaksa pilu katwa

Apa sakit, jelas buat ku tusuk

Rizki terus berjalan seusai berpisah dari Ridho. Dia berjalan terus ke utara tanpa berhenti, dengan tatapan was-was pada sekitar, siapa tahu dia menemukan apa yang dia cari.

"Aku lupa menanyakan di mana pawang ular itu muncul pada Simbok".

Rizki berhenti berjalan, dia beristirahat sejenak di bangku bambu yang terlihat reot yang ada di tepi jalan setapak tengah sawah itu. Dia sama sekali tak bertemu dengan ular atau pawangnya,

"Ku pikir dengan aku pergi ke sawah seperti ini aku akan dengan mudah menemukannya, satu satunya tempat yang masuk akal untuk ular bersembunyi ya di sini, sawah, tapi apa....".

Rizki mengeluarkan botol minum dari saku celananya yang cukup lebar. Dia membukanya, dan meminum air itu untuk menyegarkan diri.

"Dia pasti bukan ular sembarangan".

Mata Rizki teralihkan kepada sesuatu yang bergerak mendekatinya. Suatu benda kecil yang terlihat panjang, meliuk-liuk di atas tanah, mendekatinya. Sesuatu itu hijau, dan dia langsung tahu apa itu.

"Aku tak kaget kalau dia datang sekarang, karena aku memang sedang mencarinya, biarkan saja dia mendekat sendiri".

Ya benar, itu adalah seekor ular berwarna hijau daun cerah yang entah karena naluri atau apa mendekat pada Rizki, melilit kakinya untuk kemudian naik di betisnya.

"Datang juga kau, apa bentukmu memang ular seperti ini?", seru Rizki sok menantang.

Ular itu mendongak pada Rizki, dia membuka mulutnya lebar lebar, mengancam Rizki.

"Apa?!".

Ular itu hanya mengancam Rizki, dia tak bicara apapun.

'Tunggu dulu..., dia tak menjawabku, sepertinya ular ini hanya ular biasa'.

Tangan kiri Rizki maju, dia menggenggam tubuh ular itu. Si ular mengancam lagi, dia menjulurkan lidahnya yang bercabang pada tangan Rizki yang menggenggamnya. Tangan Rizki menyala, terasa panas, kemudian muncul api, berkobar, memanaskan tubuh ular kecil itu. Ular itu berontak kepanasan, dia mematukmatukan taring bisanya kepada tangan Rizki. Tapi percuma, dia tak akan bisa menandingi api Rizki, dia sekejap hangus setelah Rizki benar-benar membakarnya.

Ular itu tak bergerak, tubuhnya hangus berasap. Bau daging terpanggang sempat tercium, namun Rizki tetap fokus memperhatikan tubuh ular itu.

"Tak ada yang berubah, dia bukan ular jadi jadian, dia cuma ular biasa".

"Plok! plok! plok!", terdengar suara tepuk tangan yang cukup kencang.

Rizki menoleh, seseorang berjalan kepadanya,

"Untuk apa berubah jika perubahan sudah ada di depan mata?, Ibarate opo sing mbok golek'i wus ono ning arepmu, tapi.... kowe ra sadar kuwi(Ibaratnya apa yang kamu cari sudah ada di depanmu, tapi.... Kamu tak sadar itu)".

"Ora sah muter muter anggonmu omong!!, kuwi dudu ibarat, kowe pancen wus ono neng kene(Tak usah berputar putar pembicaraanmu itu!!, itu bukan perumpamaan, kamu memang sudah ada di sini)", Rizki menyadari bahwa orang inilah yang dia cari.

Dia yakin benar bahwa dialah si siluman ular. Tapi aneh, tak ada yang menarik dari orang ini, dia berpenampilan biasa saja, berjenggot dan kumis, berambut sedikit beruban, mengenakan kaos oblong, dan celana hitam yang longgar, tak jauh beda seperti orang pada umumnya.

"Wuiuuhh.... pinter men anggonmu mbalekke omonganku(Pintar sekali caramu membalikan perkataanku)", orang itu bertepuk tangan lagi.

Rizki dengan gegabah maju, membawa bola api di tangan kanan yang dia angkat ke depan. Dia mencoba melompat untuk mengarahkan bola api pada orang itu tapi,

"Buk!!", dia terpelanting jatuh entah keapa. Dia sekarang tengkurap di tanah,

'Kakiku nggak bisa gerak!, ada yang mengikatku!'.

Dia melihat pada kakinya, dan benar saja seekor ular hijau kecil dengan kuat membelit kakinya.

"Wretaksanda!!, panggil aku dengan itu agar kau mudah menyebutku",

orang yang menyebut dirinya 'Wretaksanda' itu dengan santai bicara tanpa sedikitpun peduli dengan Rizki yang berusaha meloloskan kakinya.

'Dia dengan mudah memunculkan ular ini tanpa aku sadari kedatangannya...., mungkin teleportasi?..., apa dia punya kekuatan seperti itu...',

"Sialan kau ulo!!!", Rizki membuat kakinya terbakar, ular itu lagilagi hangus karena api Rizki.

Kakinya lepas dari ular panggang yang tadi melilitnya, dia kemudian bangkit, berdiri gagah menatap bengis pada Wretaksanda. Rizki memang sering gegabah, gampang tersulut emosi, dia dengan mudah menyerang duluan tanpa memperhatikan apa yang datang di kakinya.

Dia memang pemikir yang baik, tapi kelemahan Rizki, dia hanya fokus pada satu titik saja. Sama saja saat dia bicara seperti tadi, dia hanya fokus pada perkataannya, dan tak sedikitpun memperhatikan kakinya yang sedang dililit. Berbeda dengan Ridho, walaupun sama-sama satu fokus seperti Rizki, tapi dia lebih jeli, dia lebih memahami makna tersirat ketimbang realita yang ada di depan matanya.

"Huahahahaha!!...., ku dengar kau mencariku hey anaknya Nawang Latu".

Rizki terbelalak karena sebutan itu,

'Dia tahu Sang Dewi, jarang yang tahu tentang itu, kecuali mereka yang mungkin sudah ku beri tahu, tapi dia..., ini baru pertama kalinya aku bertemu dengannya, tapi dia sudah tahu, tahu darimana?'. "Kenapa?!, kau terkejut?!!". 'Apa karena dia melihat apiku tadi..., hah tapi bukan, beberapa orang yang kuperlihatkan apiku tak mungkin langsung tahu bahwa aku ini titisan Sang Dewi, tapi dia..., dugaanku benar, dia pasti mengincar Kitab Aruna'.

"Tak usah banyak berpikir bocah!!, apa yang kau mau dari bertemu denganku ini!!".

"Apa maumu", jawab Rizki singkat.

Wretaksanda itu malah bertepuk tangan lagi, dia sedikit tertawa geli,

"Wah wah..., kowe mbalekke omonganku maneh bocah!!(Kamu membalikan perkataanku lagi bocah!!)", dia berdehem sebentar,

"Jelas!!, aku tahu kamu sudah tahu tentang keinginanku menguasai Kitab Aruna, dan ya!!, kau benar anak Nawang Latu!".

"Kau bisa baca pikiranku!", Rizki tercengak, tak disadari pikirannya mudah di tebak oleh Wretaksanda.

"Tak perlu sebuah kekuatan magis untuk membaca pikiran orang lain hey Latu, karena dengan melihat sorot matamu itu..., aku tahu semuanya!, mata tak pernah berbohong, dan kau tak bisa menyembunyikan hatimu!!, wuahahahaha!!".

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang