CXXX - Cuma Kerdil Yang Patuh

296 42 2
                                    

Hidup serasa terkait batu dalam utas tali

Apa berat?, aku tak mau jatuh ditusuk

Dalam jurang yang kelam

Dan tak bisa kembali pada tebing tali

Untuk ku hidup, menunda membusuk

Karna di sini tak ada api, padam

Tak maulah hatiku bagai anomali

Aku ingin kembali masuk

Kenapa tidak boleh?, kejam!

Suasana pagi terasa dingin, sunyi.

Sepanjang mata memandang, hanya terlihat kabut pagi, yang warnanya kelabu kelam, sekelam hati, seorang anak yang sedang duduk di atas batu, di bawah rimbunnya daun pohon kelengkeng yang besar. Dia terlihat begitu murung, hatinya sepertinya gundah gulana sekarang.

"Aku ini apa?!!!!, anak haram?!!!, atau cuma anak yang terlanjur keluar dari perut, dan habis itu tak dipedulikan?!!!", Suyitno kesal,

setelah dirinya dimarahi dan dipukuli habis-habisan oleh bapaknya tadi.

Lengannya, pipi, dan beberapa bagian tubuhnya terlihat memar, bahkan berdarah, semua itu hanya jadi saksi bisu kejamnya seorang ayah pada anaknya.

"Dhe'ne ra preduli ro aku!!, mung mikiri wedo'an l****!!!, Bapak ora sayang aku!, Bapak ra sayang Ibu!!, Bapak wus keracunan wong wedok gemblung kae!!(Dia tak peduli padaku!!, cuma memikirkan perempuan l****!!!, Bapak tak sayang padaku!, Bapak tak sayang Ibu!!, Bapak sudah keracunan perempuan gila itu!!)".

Dia menggenggam erat sebuah batu, dan kemudian melempar sejauh-jauhnya entah nanti mendarat di mana. Dia sangat kecewa dengan apa yang dialaminya.

"Belum lagi Wijaya!!, apa aku ini pengecut!, apa aku ini pengecut cuma menurut padanya saja!!, aku ini apa?!!!!, aku tak punya apapun untuk melawannya!, aku cuma anak buangan!!, yang bahkan tak diharapkan kehadirannya oleh Bapakku sendiri!!", dia mencucurkan air matanya deras, sederas kebenciannya pada takdir yang tak membiarkannya bahagia.

Seseorang menepuk pundaknya, seketika menyadarkannya, membuatnya menoleh.

Deg.

'Wijaya!'.

Jantungnya ganti berdegup kencang sekarang, keringat dingin bercucuran, dia langsung terbayang dengan kata-kata 'Kalau kau tak ingin ku bunuh, berikanlah aku banyak uang untuk menebus nyawamu, Suyitno' yang diucapkan Wijaya kemarin, yang terus mengiang-ngiang di kepalanya.

"A.. a a adda a p ppa Jaya?!", ucapnya gemetaran.

"Jangan belaga kikuk Suyitno!!!, mana uangku!!, aku butuh uang!!!", jawab Wijaya menggertak.

'Apa sekarang?, apa yang harus aku katakana sekarang?'.

Wijaya menatap tajam Suyitno yang gugup gemetaran,

"Kau tahu Suyitno!!, urip kuwi ra ono sing gratis!!, kabeh kudu mbayar!!!, lan nyowomu uga kudu dibayar!!, saiki!!!(hidup itu tak ada yang gratis!!, semua harus mbayar!!!, dan nyawamu juga harus dibayar!!, sekarang!!!)", dia mendaratkan bogem mentah tepat ke perut Suyitno yang tak siap.

Pukulan itu sangat keras mengenai Suyitno, membuat matanya melotot, mulutnya terbuka dan langsung muntah darah.

'Sakit!..., sesakit inikah takdirku!'. Tak berhenti sampai di situ, di saat dia sedang menyelami rasa sakitnya, Wijaya mendaratkan tinjunya lagi mengenai wajah Sutirnya, membuat hidungnya berdarah seketika.

"Aurgghh....".

"Dari tatapanmu, aku tahu kau ini tak punya uang Suyitno!!, dan sangsi dari kau tak punya uang adalah nyawamu!, kau tahu itu", seru Wijaya senang memukuli Suyitno.

Tak berapa lama, setelah banyak pukulan mendarat di tubuhnya, dia kembali didera dengan beberapa cambukan, cambuk dari seutas ikat pinggang dengan kepala besi, yang akan sangat sakit saat menampar kulit. Suyitno hanya meringik, menyeringai, menahan semua rasa sakit itu dengan matanya yang terus terpejam, dia tak melawan sedikitpun.

'Apa ini rasanya hidup?, rasa hidup nyatanya tak manis, hidup itu lebih tepatnya seperti sengatan lebah, yang terasa sangat ngilu, tak bisa digaruk, tak bisa diobati, hanya bisaa ditunggu, yang tak pasti, abstrak, entah sampai kapan sembuhnya'.

...

Wretaksanda perlahan membuka matanya, mendapati dirinya yang terikat di batang pohon besar, dengan seorang wanita yang tersenyum jahat melihatnya. Tak terasa pipinya basah, dia menangis, entah kapan itu, dia tak merasakannya.

"Apa kau sudah puas Suyitno yang malang?!, sekarang waktunya mati!!!", teriak Putri dengan jahat.

Yang lebih tak dirasakannya lagi, ternyata Putri sudah menusukan sebilah pisau tepat di dada Wretaksanda, dan setelah Putri selesai bicara, dia langsung memutar gagang pisau yang menancap itu, membuat tubuh Wretaksanda serasa dibakar hebat. Wretaksanda kejang, tubuhnya mati rasa, jantungnya berdetak sangat kencang, nafasnya naik turun terengah-engah. Sejenak Putri menghentikan tangannya yang memutar gagang pisau dengan kejam, dia tersenyum jahat pada Wretaksanda,

"Suyitno, kau tahu!!, hidup itu bukan madu yang dihisap lebah!, kau tahu, hidupmu itu adalah tubuh yang disengat lebah...".

Putri menusukan pisau itu makin dalam, dan dia memutar gagangnya lagi dengan kasar.

"Agghhrhh!!!!", Wretaksanda berteriak sekuat-kuatnya, dia tak bisa menahan putaran pisau itu lagi. "..., rasanya ngilu, kau tahu".

Sekejap tubuh Wretaksanda lemas, nafasnya berhenti, dan matanya terpejam rapat.

Putri melolos cincin purnama merah dari tangan Wretaksanda, menempatkannya di jari manisnya.

"Kali ini apalagi yang bisa kulakukan dengan kekuatan baruku ini?!!, huahahahaha!!!, nyawa semua orang ada di tanganku sekarang!!!, huwahahahaaa!!"

"Kali ini apalagi yang bisa kulakukan dengan kekuatan baruku ini?!!, huahahahaha!!!, nyawa semua orang ada di tanganku sekarang!!!, huwahahahaaa!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang