CV - Masa Lalu

649 75 3
                                    

Kenangan indah adalah masa lalu

Karna tlah berbuih di dalam benak benak

Manis dirasa walau dulu sakit sepertinya

Tak akan terlupa tuk ingin berulang kemudian

Kala kata bersama sakiti pada masa lalu

Sakit, memang perih rasanya

Tapi kini, hanya waktu yang dapat mengubahnya

Jadi manis merindunya, entah kapan kembali lagi

Kiranya kapan kembali lagi.

“Hah!, hah!, yok masuk, tendang bolanya gol gol!!”, teriak Tomy sekencang kencangnya.

Ardi, Ryan, Tomy, juga Rizki, sedang nonton bola bareng di ruang keluarga. Mereka terlihat akrab, sama seperti waktu dulu.

“Hiper banget lu!!”, seru Rizki.

“Kaya nggak tau dia aja”.

“Eh!, **m****!!, b***** banget!, kaya gitu nggak bisa ngegolin!!”, kesal Tomy tak menggubris perkataan teman-temannya.

Rizki berdri, menjitak kepala Tomy, “A***** lu, bisa diem nggak?!”.

Tomy mendorong Rizki hingga terduduk, Rizki berdiri, balas mendorong.

“Apa lo!”. “Apa?!, orang lagi kesel malah!”.

“Aku lebih kesel ama kehiperan lu c****!”.

Ryan ikut berdiri, meleraai mereka,

“Sttt sttt, eh udah uddah, nggak dulu nggak sekarang, bawaannya mau berantem mulu, bisa enggak kalian damai dua menit aja”.

Rizki terus mempelototi Tomy dengan penuh emosi, sedang Tomy tak menanggapinya, dia malah fokus lagi menonton tv. Rizki kemudian duduk, tapi dia masih emosi, Ardi malah geleng-geleng.

“Udahlah Ki, si Tomy kan emang begitu dari dulu”, ucap Ardi.

‘Ya benar ini semua sama seperti dulu, sama seperti masa lalu dulu….., entah apa aku bisa kembali ke masa lalu itu, karna sekarang hidupku sudah berubah, tak sama seperti masa lalu’.

Rizki terlihat melamun, dia mengingat masa lalunya.

“Inget nggak Ki, kamu dulu pernah berantem ama Tomy cuma gara gara dia ngambil permenmu, kamu tuh emosional banget Ki, bener dah”., cerita Ardi.

“Hehhh….”.

“Apa kamu sekarang masih emosional Ki?, dan apa akan terus begitu?”.

“Aku udah kaya gini dari lair!!, dan bahkan akan tetap begitu sampe mati nanti”,

Rizki berdiri lalu pergi.

“Loh kok ngambek”, celetuk Ardi.

“Ngapa dia?”, tanya Ryan.

“Ngambek…. Kaya dulu”.

Entah, mungkin benar perkataannya, Rizki adalah orang yang setiap waktu merasa sebal, emosional, dan akan tetap begitu sampai kapanpun.

Kalaupun dia tak emosional, dia tak akan bisa mendapatkan kekuatan pengendali apinya, itu sudah ditakdirkan untuknya.

“Hmmm….., ini benar sama seperti dulu, dan mereka pun masih seperti dulu………., padahal rasanya baru dua bulan aku di Jogja, ini udah kaya …. eh….. masa lalu bagiku. Mereka masih sama, tapi , aku nggak sama lagi, aku bukan Rizki yang dulu, walau sifatku masih kaya gini, tapi hidupku, ….. penuh bahaya…… hah……”.

Rizki berdecak, tangan kirinya menyender di pilar atap teras.

Dia menghembus nafas panjang, menatap pemandangan luar dengan penuh rasa pilu.

“Aku rindu, rindu yang begitu besar, melebihi rinduku bersama dengan Lesti, rindu ini, rindu untuk kembali seperti dulu, jadi orang biasa, tak diincar bahaya. Mungkin kemarin Ridho yang ditusuk berdarah darah, bisa saja besok aku, bisa juga kita akan mati suatu hari nanti”.

Tak lama seseorang berjalan tertatih ke arah Rizki.

Menghampirinya yang berdiri di halaman depan rumah.

Itu Ridho, entah darimana dia,

“Kamu ngapain malem malem di sini?”.

Oh, kamu….., nggak kok nggak ngapa ngapain”, ucap Rizki sedikit kaget didatangi Ridho.

Hmm…., jangan kamu bohong dengan saudara kembarmu sendiri, karena kamu nggak akan bisa membohongiku, perasaan kita saling terhubung Ki”.

Hhhh…. kau benar, dan tentunya kau tahu Dho”.

Rizki mendongak ke atas, melihat bulan yang kebetulan sedang purnama.

Wektu nyawang wulan kae ,aku mung kelingan, kangen, aku kepingin koyo mbien, tapi siki, uripku sing siki wus adoh beda, aku ra bakal biso mbali maneh ono wayah kuwi(Saat melihat bulan itu, aku hanya teringat, rindu, aku ingin seperti dulu, tapi sekarang, hidupku yang sekarang ini sudah jauh beda, aku nggak akan bias kembali lagi pada waktu itu)”.

Ridho menepuk pundak Rizki.

“Sabarlah, aku pun pernah merasa begitu, tapi bagaimanapun Ki, ini sudah jadi …..”.
“Takdir kita!, ya benar Dho, dan yang lebih benar lagi, kita nggak akan bisa lari dari takdir ini”.

“Benar…., tapi Ki, bagaimanapun, cara yang terbaik di sini hanyalah menjalaninya. Melewati garis takdir ini sampai kita bisa mencapai titik puncaknya nanti”.

“Tapi kenapa kita harus melewatinya Dho?!, ini menakutkan!, lebih baik kita mati saja Dho”.

“Kita harus melewatinya untuk mereka….., orang yang kita sayangi. Karena kita sama-sama nggak ingin melihat mereka menangisi kepergian kita. Dan juga, aku ingin kita bersama sampai kapanpun, kau tentu tahu. Jika ada Rizki yang digariskan untuk umat dari-Nya, pastilah juga ada Ridho-Nya yang menyertai,  jika ada rasa panas karena dibakar api, tentunya ada juga air yang dingin untuk memadamkannya, kita ini satu, saling melengkapi”.

Rizki diam termenung, dia meresapi perkataan Ridho.

Mereka berua saling memandangi bulan yang menggantung di atas langit.

“Bulan itu cantik, dia juga baik, dia selalu memberi kita semangat untuk tetap hidup, dia tak akan membiarkan kita mati begitu saja” , ujar Ridho.

“Dho….”.

“Ya”.

“Siapa kira kira Kusumadipati selanjutnya?”.

“Entahlah, siapapun dia, dan siapapun musuhnya, aku siap mati demi melindungi ‘mereka yang kita sayang’ Ki”.

“Ya”.

Rizki berjalan keluar halaman rumah, dia pergi.

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang