Aku menyayangimu dengan seluruh kisah hidupku
Yang kuperuntukan hanya untuk diukir bersamamu
Tak ada yang lain
Hanya kau yang nubuat melekat dalam ismiya
Berlinang di sekat benih benih cinta
Namun bagaimana bisa
Mataku ini menatap kau yang terlunglai
Dengan mata terpejam tiada melihatku lagi
Bangun, bangkitlah, kecuplah rasa sayang ini
Sekarang sudah pukul lima tepat. Tapi lorong rumah sakit masih nampak sepi.
"Terima kasih sudah memenuhi administrasinya, pasien akan secepatnya kami tangani", perawat itu lalu menyatukan telapak tangan, memberi hormat pada Rizki.
"Ya tentu, ..., eh sus, mau tanya".
"Silahkan".
"Kapan operasinya bisa berlangsung".
"Saya harap bisa secepatnya, namun berhubung dengan masa pemulihan dari obat dan juga kepadatan jadwal dari dokter Sulistyo, mungkin lusa besok operasi dapat dijalankan", jawab perawat dengan sopan.
Rizki geram, dia malah membentak, "Apa ngga ada dokter lain selain dokter Tyo di rumah sakit sebesar ini?!!!', suaranya menggema ke lorong rumah sakit yang sepi. Mungkin terdengar berisik dan bisa saja membangunkan pasien lain yang sedang tidur.
"Maaf tidak ada, karena kekurangan pegawai, rumah sakit ini hanya memiliki satu dokter bedah, tak lain adalah bapak Sulistyo, saya mewakili pihak rumah sakit meminta maaf atas ketidaksesuaian ini", jelas perawat sambil menunduk dan penuh hormat.
"Heh!!!", Rizki menggebrak meja dan kemudian berlalu pergi.
Dia berjalan ke kamar Ridho, tertatih- tatih dengan kakinya yang baru saja diperban. Dia tadi memang sudah meminta perawat menangani lukanya, dan kemudian menuju ruang administrasi untuk membayar semua biaya.
Beruntung saat dia di Jakarta yang dalam posisi 'berkunjung' seperti ini, Rizki masih punya banyak uang dan fasilitas kartu ATM yang diberikan oleh bu Vena dulu. Walaupun Rizki tak lagi bersama mereka, dia tak hentinya memanjakan Rizki dengan fasilitas itu sebagai wujud rasa kasih sayang.
Tapi tetap saja Rizki tak mempedulikan hal itu, toh walau dia diberi sejuta milyar, kasih sayang dua orang tuanya itu masih sama, palsu, dia tak pernah merasa sedikitpun disayangi karena menurutnya rasa kasih sayang itu tidaklah benar-benar tulus padanya.
Namun dalam posisi begini, fasilitas itu sangat menguntungkan bagi Rizki, betapa tidak, kalau tanpa kartu ATM itu entah bagaimana Rizki dapat membayar biaya operasi Ridho.
...
Rizki tak langsung masuk ke dalam ruangan kamar Ridho. Dia berhenti sebentar tepat di depan pintu.
Tangannya sibuk menekan-nekan tombol hp milik Ridho, yang dia ambil saat dirumah Lesti tadi.
Tak lama, telpon pun berdering, Rizki mengangkatnya dan menempelan di telinganya.
"Ya, halo!, Idho!, gimana kabarmu?, kamu baik baik saja di sana kan?!", ucap suara dari seberang dengan penuh antusias.
"Nggak, dia nggak baik-baik sekarang", jawab Rizki datar.
"Loh, ini Idho?, kok suaranya....??".
"Ini Rizki".
"Oh, terus Idhonya mana?".
"Put, aku harap kamu jangan kaget banget mendengar ini ya".
"Dengar apa Ki?", sahut Putri dengan nada mulai cemas mendengar perkataan Rizki. Sepertinya sedang terjadi sesuatu pada Ridho.
"Dua hari lagi, dia akan dioperasi".
Mendadak Putri diam, sepertinya kata- kata itu benar- benar membuat Putri kaget.
"Ke..kenapa?, Ridho kenapa?!".
"Dia tertusuk benda tajam berkarat dibagian perut, dan malangnya, kata dokter partikel berkarat dari benda tajam itu tertinggal di perut Ridho.
Jika dibiarkan tubuh Ridho bisa membengkak, dan bahayanya dia bisa terkena tetanus di dalam tubuh".
"Di...dia tertusuk... lagi, dulu aku pernah menusuknya, dan pasti luka itu belum sembuh total, tapi kenapa?, dia tertusuk lagi?".
Sepertinya Putri begitu kaget, hingga dia benar- benar tak percaya dengan apa yang dikatakan Rizki.
"Dan itu yang ku khawatirkan, perutnya pasti akan begitu lemah karena dua kali ditusuk, sepertinya kedepan dia akan punya kelemahan di bagian perut".
Tak lama, tertengar isakan dari panggilan telepon itu, sepertinya Putri menangis.
"Se... seandai...nya dulu... aku nggak nusuk Ridho..., dia pasti nggak akan begini.......", kata Putri yang agak tak jelas, hanyut dalam suara tangisannya. Rizki mengusap hidungnya, matanya ikut berkaca mendengar Putri yang begitu sedih.
"Sudahlah Put, jangan nangis, aku meneleponmu bukan untuk itu".
"Lalu apa??..............., apa......, apa aku harus datang kesana!!".
"Ya Put, datanglah, kehadiranmu sangat diperlukan untuk kesembuhan Ridho, datanglah ke sini, aku ingin kau jadi orang pertama yang dilihat Ridho saat dia sadar, karena kau dan aku sama sama tahu Put,......", Rizki berhenti sejenak.
"Dia mencintaimu", imbuhnya.
"Ba.... Baiklah, aku akan ambil ijin kuliah, mungkin dua hari lagi aku ke sana".
"Dua hari?!!, aku harap kau nggak datang terlambat Put, aku yakin Ridho sangat mengharapkanmu, dan aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau sebuah harapan itu di pupudkan begitu saja, kasihan dia".
"Ya aku tahu, insyaalah akan aku usahakan untuk segera sampai, aku juga mencintainya Ki, dan aku juga berharap untuk kesembuhannya, tapi dimana alamat rumah sakitnya?".
"Oh, itu, ini ada di Rumah Sakit Kartika, Jakarta Pusat".
"Aku benar benar merasa bersalah Ki, kau tahu, aku dulu pernah menusuknya".
Rizki diam tak menjawab.
"Ya sudah Ki, tolong tunggu aku", ucap Putri mengakhiri pembicaraan.
Tak lama, panggilan terputus, Rizki kemudian mematikan layar hp itu dan mengenggamnya. Dia kemudian masuk kemar Ridho.
"Dia pastinya kaget juga khawatir, jangankan dia, akupun khawatir denganmu Dho, cepatlah sembuh biar kekhawatiran ini segera hilang".
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins [Season 3] [Tamat]
Fantezie'Aku ini apa?, yang dibenci....., tapi siapa yang membenciku?, kenapa dia membenciku, apa, apa salahku?. Aku hanya ingin hidup normal.........., tapi takdir tlah memberiku kekuatan ini, tapi kenapa?, kenapa kekuatan ini membuatku dibenci olehnya...