CXVIII(a) - Setelah Sekian Lama

386 38 0
                                    

hey yo readers!!!!!, setelah sekian lama nggak update.... akhirnya.....

Kata kata menjuntai panjang jadi pedang

Untuk dengan mudah potong lidah berdarah

Bulan adalah saksi

Laksana intaiyuana amati satu laku dan laju

Diam, bisu, waima nyata melihat satu perjengkal adegan

Yang seolah tertata skenario waktu, takdir sutradaranya

Tapi, tak bisakah berpijak, jalan ke bulan saja

Mampukah?, apa sia sia saja?

Rantai ini rekat sangat, ada merajutku dalam bualan

Selang beberapa menit yang lalu sebelum Rizki Ridho datang, terlihat begitu jelas bahwa bu Imah nampak risau dan gelisah menanti-nanti kedua anaknya. Tapi sepertinya keadaan berbalik setelah kedua anaknya itu datang, bu Imah sekarang senang dengan kedatangan mereka, dan justru malah pak Ramalah yang terlihat begitu mangkel karena percakapannya dengan Rizki barusan.

"Seko cilik, aku wus urip guyub bareng ro dhewe'e, mungsuhan yo jarang jarang, setyoku ki setyo tulus kanggo kekancan, urip susah seneng ewodene wus duwe bojo dhewe-dhewe. Tapi opo..!, wani wanine nghianati!!, kurang opo aku dadi konco seprene?!, kurang apik opo aku iki?!(Sejak kecil, aku sudah hidup rukun dengannya, jarang bermusuhan, kesetiaanku adalah kesetiaan yang tulus sebagai teman, hidup suka duka meskipun sudah berkeluarga masing-masing. Tapi apa..!, berani beraninya menghianati!!, kurang apa aku jadi temannya selama ini?!, kurang baik bagaimana aku ini?!)", ucap pak Rama sambil berkeliling memutari sudut pendhapa.

Rizki hanya diam saja, dia yang langsung 'peka' itu mengerti apa yang sedang dibicarakan pak Rama. Bapaknya itu pasti sedang berbicara tentang Ayahnya, Budi.

Bagaimana tidak, yang dimaksud dengan 'dhewe'e(dia)' adalah Ayahnya, Pak Budi, dan 'nghianati(menghianati)', itu pastinya menyangkut dengan peristiwa dua puluh tahun yang selama ini mengubah takdir Rizki, takdir sebagai anak yang tak pernah bisa bertemu Bapak Ibunya selama bertahun-tahun.

...

(flashback).

"Apa Mas?!, hamil?!!, Fatimah hamil??", Vena terlihat menggerutu sambil terus mendengarkan suara dari seberang telepon.

Dia sedang berbicara dengan Budi suaminya yang kebetulan sedang bekerja.

"Iya Bu, dia dan Rama tadi pagi datang buru-buru ke rumah sakit ini, dan sampe sekarang masih ada di ruang bersalin", jawab Budi dari seberang.

Mendengarnya, Vena tersedak, dia kemudian menyemburkan seteguk teh yang baru saja diteguknya.

"Ruang Bersalin?!!".

"Iya Ma, Fatimah melahirkan bayinya dua jam yang lalu, bayinya sehat, dan kalau Mama tau..., dia melahirkan dua bayi kembar sekaligus Ma", terang Rama panjang lebar.

Hening.

Vena mengosongkan pandanganya, walau dia masih mendengar suara suaminya dari balik telepon itu, tapi pikirnya jauh melayang.

"Ma?, Mama?... Apa udah diputus teleponnya?".

Suara itu mengagetkan Vena, wajahnya terlihat kesal, terbesit rasa iri di hatinya. "Ma!", ulang Budi.

"Ehm... iya Pa....".

"Mama kok diem?, kenapa Ma?".

Vena lagi-lagi tak menjawabnya, dia malah hanyut dengan sebuah kata yang dengan ini dirasakannya. Ya, 'iri', sebuah kata yang membuat Vena teringat dengan janjinya dulu, janjinya di hari pernikahannya setahun yang lalu.

Twins [Season 3] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang