"Parman! Cepetan bayar kas!!!"
Suara toa yang bersumber dari mulut bendahara kelas itu sukses menggetarkan lorong sekolah. Jean cepat-cepat menutupi kedua telinganya, takut jika daun telinganya robek, atau bahkan, bisa membuat gendang telinganya pecah.
Saka yang berada di samping Jean langsung mendekat ke arah Nata yang berjaga di depan pintu kelas. "Masih pagi, Nat!" serunya, sembari membungkam mulut gadis itu. Dalam hati, ia merutuki kenapa ada gadis seperti Nata di dunia ini.
Sementara itu, Jean hanya memasang wajah datar, terkesan tak peduli. Ia pun melirik kelasnya, lalu tersenyum lebar. Ternyata jam kosong.
Anak kelasnya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang membaca buku, bergosip ria, menonton film di laptop, dan ada juga yang terang-terangan makan di kelas.
Nata mengempaskan tangan Saka dari mulutnya. "Slamet, lo tuh kalau disuruh bayar kas susah amat!" kesal Nata. Ia mendongakkan kepalanya untuk menatap Saka. "Kalau ngutang baru numero uno."
"Gue bukan Parman, apalagi Slamet! Nama gue Saka! Catat di jidat lo," ujar Saka, lalu mendorong kening Nata dengan jari telunjuknya.
Nata mengusap-usap keningnya dengan perasaan dongkol. "Bodo amat! Ngeles aja, Pardi."
Setelah itu, barulah Nata menyadari kehadiran Jean yang berada satu meter di depannya. Gadis itu tampak berdiri santai dan masih menggendong tasnya. "Eh, Jean. Kok baru berangkat?"
"Gue telat. Barusan masuk BK," balas Jean.
Nata menyingkirkan tubuh jangkung Saka, kemudian berjalan mendekati Jean. Gadis itu melingkarkan salah satu tangannya di pundak Jean. "Masuk ke kelas dulu aja, Je. Bentar lagi gue mau main film action. Bahaya."
Saka bergidik ngeri. Cewek sekarang nyindirnya mantep!
•ANGKASA•
Jumlah murid yang ganjil mengharuskan Jean duduk sendirian di kursi paling belakang. Tapi tak masalah, karena ia bisa tidur semaunya.
Pagi ini Jean hanya ingin mempermalas diri. Tak mau bergerak. Tak mau melihat Saka maupun mendengar suara toa milik Nata. Pagi ini adalah kebebasannya.
Akan tetapi, keinginannya menguap begitu saja ketika seorang guru berperawakan kurus memasuki ruang kelas XI IPA 2. Para murid yang tadinya sibuk sendiri, secepat kilat duduk di tempatnya masing-masing. Terdengar suara kursi berdecit di beberapa sudut.
Pak Wasit menyapu bersih seisi kelas melalui pandangannya. "Selamat pagi."
"Selamat pagi, Pak," jawab mereka, serempak.
Mau tak mau, Jean harus kembali menegakkan badannya. Ia sedikit kesal. Lagi-lagi acara bermalas-malasannya harus tertunda. Jean pun mengucek matanya beberapa kali, berharap dapat melenyapkan rasa kantuk yang sulit dicegah.
"Mia, tolong bantu saya membagikan kertas ulangan," suruh Pak Wasit kepada salah satu anak.
Kiamat kecil! Jean sama sekali tak tahu menahu jika hari ini akan diadakan ulangan, matematika pula. Ia menatap Saka yang balik menatapnya dengan tatapan tak peduli, seolah menganggap bahwa ulangan itu tak akan membuatnya mati muda.
Pak Wasit duduk di kursi guru sambil memperhatikan Mia yang sedang membagikan kertas berisikan soal matematika. "Hanya ada alat tulis di meja."
Jean membelalakkan matanya, antara kaget dan kesal. Padahal guru itu jarang menerangkan materi, tetapi suka bertindak seenaknya dengan mengadakan ulangan sesuka hati. Kalau saja Jean bisa menghilangkan diri dari bumi, ia sudah melakukannya sejak dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...