64 - Sang Perencana Terbaik

491 78 13
                                    

"Walaupun masih satu tahun lebih gue baru lulus, tapi gue mau ngasih tahu kalau gue bakal kuliah ke luar negeri, Sak."

"Kalau gue minta lo buat milih, di antara bertahan atau menyerah, mana yang terbaik?" Sayangnya, kalimat itu hanya tertahan di pikiran Saka.

Saka mengalihkan pandangannya ke sekitar, berusaha menangkap jawaban yang tepat untuk pernyataan Jean. "Tapi kan banyak universitas bagus di sini. Kenapa harus kuliah jauh-jauh?"

Jean tersenyum tenang. "Gue pengin mengeksplorasi diri sendiri, Sak. Lo kan juga tahu, dari kecil sampai sekarang, gue cuma berputar-putar di lingkungan gue."

"Papa dukung keputusan Jean, Sak. Yah, mungkin Papa juga udah sadar kalau mengekang Jean malah bikin Jean jadi anak yang pemberontak," sahut Levin.

"Lo dukung gue kan, Sak?" tanya Jean, seolah menampar Saka agar sadar dari lamunannya.

"Dukung kok! Lo pasti bisa, Je," balas Saka, mencoba tampak antusias. Padahal di dalam hati sudah remuk redam.

Pada akhirnya, kalimat itulah yang keluar dari mulut Saka. Ia tak bisa menampik kenyataan bahwa dirinya juga ingin Jean bisa mengejar impiannya. Saka pun berharap, ia bisa sukses seperti yang ada di bayangannya, agar ia pantas bersanding dengan gadis itu di masa depan.

"Makasih, Sak," kata Jean.

Saka mendongakkan kepala saat air matanya bersiap untuk tumpah. Entah kenapa air mata ini justru ingin keluar di waktu yang salah. "Sama-sama, Je. Gue mau pulang dulu ya, udah malem," pamitnya dengan terburu-buru.

Menyadari keadaan Saka, Jean pun memberikan kode kepada Levin dengan dagunya agar mengikuti arah perginya Saka. Dengan cepat, Levin menyusul lelaki itu. Alangkah leganya ia saat mendapati Saka yang masih berdiri di depan restoran.

"Sak," panggil Levin sembari menepuk pundak Saka.

Saka yang masih memandang Jean melalui jendela restoran pun membalikkan badan. Ternyata mukanya sudah basah oleh air mata. Melihat itu, Levin hampir tertawa.

"Gimana caranya ngelupain seseorang?" Saka berbicara dengan nada penuh keputusasaan.

"Lo harus lupa ingatan," saran Levin, sama sekali tak menyolusi masalahnya.

"Hah?"

Levin membentuk sebuah pistol dengan tangan, kemudian ia letakkan di samping kepalanya. "Pertama-tama, lo harus menarik pelatuk pistolnya." Lantas, ia membuat gerakan seolah-olah sedang menembak kepalanya. "Kalau belum remuk, lo tiduran di jalan, terus nunggu truk tronton menggilas kepala lo."

Saka langsung mengusap air matanya dengan cepat. "Astagfirullah, zalim sekali anda."

Setelah itu, Levin hanya terkekeh. "Jadi, lo masih mau nyerah gitu aja?" tanyanya. Ia sempat tak menyangka Saka akan menyerah secepat ini. "Come on, Man! Katanya, lo udah nunggu Jean selama sepuluh tahun. Tapi, sekarang lo gini?"

"Menurut lo, gue harus gimana?" Saka malah balik bertanya.

"Lo harus nembak Jean!" balas Levin cepat, "kalau Jean kelamaan nunggu, sampai akhirnya dia udah kuliah di luar negeri, terus naksir bule yang lebih cakep dari lo, gimana?"

"Nggak mau!" seru Saka. Menyebalkan. Kalimat itu malah mengingatkannya kepada penolakan Jean waktu itu. "Gue harus nembaknya gimana biar Jean mau sama gue?"

Pertanyaan itu membuat Levin memutar otaknya. Untungnya, ia langsung teringat akan suatu kejadian.

Malam itu, Levin dan Jean tengah menikmati hari libur mereka dengan menghabiskan waktunya di sebuah taman. Tak disangka-sangka, mereka melihat suatu pemandangan tak biasa. Ada sepasang kekasih yang duduk berhadapan. Di sekitarnya, dikelilingi oleh dekorasi yang didominasi warna merah muda dan putih.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang