19 - Hal Sederhana

1.9K 192 36
                                    

Jean dan Saka sedang berjalan di trotoar yang tidak terlalu lebar. Saling diam, itulah yang mereka lakukan. Entah belum menemukan topik yang menarik atau tak berani membuka percakapan, yang terdengar sekarang hanya suara bising kendaraan yang berlalu lalang. Namun, sayangnya, Saka tidak bisa mendengar detak jantung Jean yang memberontak sejak tadi.

Saat mereka memasuki sebuah komplek, tiba-tiba pandangan Jean terfokus pada bapak tua yang sedang berjongkok sambil memunguti ikan hias yang berceceran di jalan. Jelas-jelas penjual ikan hias itu terjatuh, membuat beberapa plastik berisi ikan tersebut pecah.

Jean pun menghampiri bapak tua itu, lalu membantunya. "Kok bisa jatuh, Pak?"

"Tadi Bapak pusing, jadi nggak fokus," jawabnya dengan suara lemah.

Jean memasukkan ikan-ikan yang masih hidup ke wadah yang lebih besar berbentuk lingkaran. Barulah ia menyadari bahwa ada tangan lain yang membantunya.

"Istirahat di sana dulu aja Pak, biar saya sama temen saya yang beresin," kata Saka, membuat Jean yang sedang menatapnya tersenyum kecil.

"Je, bantuin Bapaknya jalan," perintah Saka. Jean pun mengangguk, lalu membantu bapak tua itu berdiri dan menuntunnya ke sebuah pohon yang ada di pinggir jalan.

Dalam hatinya berbisik tentang betapa kerasnya perjuangan bapak tua yang rapuh ini. Hingga di titik terendah kesehatannya pun, beliau tetap memaksakan diri untuk mencari penghasilan.

Dan lihatlah, beberapa orang hanya berani menatap kejadian ini dari kejauhan. Tak berniat membantu, sibuk berpikir dua kali untuk mengalahkan gengsi, atau berhati batu. Entahlah, jawabannya ada pada diri mereka sendiri.

Sedangkan Jean? Ia bukan Tuhan yang maha mengetahui isi hati manusia.

Setelah bapak tua itu beristirahat di bawah pohon, Jean segera menghampiri Saka yang ternyata sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ikan-ikan telah masuk ke dua wadah besar dan plastik-plastik yang berceceran pun sudah lenyap dari sana.

"Plastiknya ke mana?" tanya Jean, "lo makan?"

"Gue simpan."

Gadis itu mengernyitkan keningnya. "Kok disimpan?"

Akan tetapi, Saka hanya diam. Ia memikul kayu panjang yang di bawahnya tergantung wadah di kedua sisinya. Cukup berat. Lelaki itu menempatkannya di dekat bapak tua yang sedang menyandarkan tubuhnya di pohon sambil memejamkan matanya.

Jean sendiri hanya mengikuti lelaki itu. Ketika Saka duduk di samping bapak tua pun, ia ikut.

Saka menatap Jean yang duduk di sebelahnya. "Lo lupa ya kalau gue ikut komunitas go green?"

Jean meringis. Ia baru ingat. "Oh, iya."

"Pelupa lo." Lelaki itu tertawa kecil, membuat Jean merutuki tingkahnya sendiri.

"Biarin. Sewot banget kayak cewek," kata Jean, tak mau kalah.

"Kayak lo dong."

Entah sejak kapan bapak tua itu menatap Jean dan Saka. Mereka yang menyadarinya pun langsung menghentikan keributannya.

"Makasih ya udah bantuin Bapak," kata bapak tua itu. "Mau ikannya? Biar bapak bungkusin."

Tak ada lima detik Jean dan Saka bertemu pandang, saling menukar pendapat melalui tatapan mata. "Nggak-nggak. Biar saya beli aja ikannya, Pak," tawar Saka, sebisa mungkin tak membuat bapak tua itu tersinggung.

"Gratis kok. Biasanya anak muda seumuran kalian suka gratisan." Sontak Jean dan Saka tertawa pelan setelah mendengar ucapan bapak tua itu.

"Tapi beneran deh Pak, biar saya beli. Sekalian mau traktir temen saya," ujar Saka.

"Gue?" Jean menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk, lalu Saka mengangguk.

"Ya udah, bungkus sendiri ya? Bapak masih pusing," titah bapak tua.

Sekali lagi, Saka mengangguk. Ia berjongkok. Tangannya mengambil dua plastik yang tergantung pada kayu dan mulai menangkap ikan dengan penyaring. Saat itu, Jean berpikir jika Saka berbakat juga menjadi penjual ikan hias.

Saka mengikat ujung plastik, kemudian menyerahkannya pada Jean. "Nih, buat lo."

Gadis itu menerima plastik bening berisi ikan hias. Ia hanya bisa mengamati Saka yang sedang menangkap ikan untuk dirinya sendiri. Dengan pemandangan sederhana seperti ini, hatinya merasa tenang.

•ANGKASA•

"Makasih udah nemenin pulang."

Saka hanya mengangguk. Melihat Jean tersenyum seperti ini benar-benar suatu kebahagiaan tersendiri, karena ia benci jika gadis itu murung dan menampakkan wajah jeleknya.

Jean, ia sedang menahan dirinya agar tak berteriak karena Saka yang terus menatapnya, seolah takut Jean akan menghilang dari pandangannya.

Tahan ... tahan, batinnya.

"Lo pulangnya gimana?" tanya Jean, berusaha terlihat normal.

"Nggak gimana-gimana," kata Saka, "gue tinggal naik ojek."

Gadis itu menghela napas lega. Bukan lega karena Saka yang sudah tidak perlu memikirkan caranya pulang, tetapi karena lelaki itu ternyata tak menyadari keanehan yang sedang ia sembunyikan.

Perlahan, genggamannya pada plastik berisi ikan pemberian Saka pun mengendur.

"Gue ... masuk dulu ya?" Jean hendak membuka pagar rumahnya, tapi segera ia urungkan karena Saka tiba-tiba memanggilnya.

"Je."

"Apa?" jawab Jean, membuatnya harus menatap wajah Saka lagi dan menyaksikan senyum lelaki itu.

"Nanti malam lo ada waktu nggak?" tanya Saka tiba-tiba.

"Nggak, kenapa?"

Gadis itu melihat Saka meringis dan menggaruk tengkuknya sebagai respons pertama. Ada apa dengan lelaki itu? Hingga tingkah laku Saka sukses membuat Jean berpikir macam-macam. Bagaimana jika nanti malam akan menjadi kencan pertama mereka?

Oke, berhenti menghayal Jean.

Saka mendadak menunjuk ikan hias milik Jean. Gadis itu pun mengangkat plastik tersebut. "Ini? Kenapa?"

"Gue lupa beli makanan ikannya tadi. Jadi, nanti malem lo mau kan nemenin gue?"

Sudah dikatakan sejak awal, jangan menghayal Jean!

Gadis itu tersenyum kikuk, lalu mengangguk. "Gue mau kok."

Saka tersenyum sekali lagi. Setelah itu, ponsel di saku celananya berbunyi. "Je, kayaknya ojek gue udah di jalan nih. Lo masuk aja."

"Iya, hati-hati."

Saka mengangguk, kemudian mengangkat teleponnya. Sementara itu, Jean sudah masuk ke rumah terlebih dahulu.

Belasan menit menunggu, akhirnya ojek Saka pun datang dan segera menepikan motornya di tepi jalan.

Lelaki itu menaikkan kaca helmnya. "WOI, BANGSAT. LO KIRA GUE OJEK?"

Saka terkekeh setelah mendapati Reyhan yang memberengut karena kesal. "Sabar Han, sabar. Kalau sewot nanti gantengnya ketiup angin," godanya. "Lagian pahalanya gede kalau nganterin temen pulang."

"Lemes banget mulut lo kalau ngomong!" hardik Reyhan. "Belum pernah dijejelin mercon, hah?"

"Kalau bakso mercon, gue mau," jawab Saka dengan santainya.

"Ngeles aja lo!" Sepertinya Reyhan sedang mengalami sesuatu semacam datang bulan. Nada bicaranya ketus, tetapi tetap terdengar menggelikan di telinga Saka. "Cepetan naik, goblok!"

"Iya iya, sabar Pak Haji!" Saka terkekeh, menahan tawa. Lantas, ia naik ke jok motor tersebut dan terus membujuk Reyhan agar ikhlas mengantarnya pulang.

Harusnya gue di rumah aja sambil streaming mv Mamamoo, batin Reyhan.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang