Sisa empat hari lagi sebelum kepergian Levin dan Herman. Jean sedang berusaha mengakrabkan diri dengan dua lelaki itu. Jika dengan Levin, tentu tidak akan menjadi masalah besar. Lalu, bagaimana dengan papanya? Yah, sepertinya Jean tidak boleh memaksakan diri. Sepulang dari kantor, Herman selalu mengunci dirinya di kamar. Nyali Jean pun menciut. Ia takut papanya tidak dalam kondisi yang baik untuk diajak bicara.
Malam harinya, Jean menyelinap masuk ke kamar Levin. Untungnya lelaki itu masih terjaga karena sedang bermain game di ponselnya.
Jean membaringkan badannya di ranjang Levin. "Gue laper, anjir," keluhnya.
"Bikin mi instan sana," suruh lelaki itu tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, "terus jangan ngomong kasar. EH, BANGSAT! SETAN LO!"
Gadis itu hanya geleng-geleng kepala setelah Levin memberikan umpatan saat bermain game.
"Bikinin lah!" rajuk Jean, "dari tadi gue di sini, tapi dicuekin terus."
"GILA GILA! BISA KALAH GUE!" Levin yang baru sadar jika ia sudah banyak mengumpat itu lantas menoleh ke arah Jean. "Hah? Apa, Je?"
Jean bangkit dari posisi tidurnya, lalu duduk dengan kaki bersila. Gadis itu menatap Levin sambil mengerucutkan bibir. "Ayo bikin mi bareng! Lo kan bentar lagi mau pergi, masa gue masih sering kena cuek sih!"
Levin pun memencet tombol home dan mematikan ponselnya. Lama-lama ia menjadi kasihan pada adiknya. Empat hari bukanlah waktu yang lama. Dirinya boleh saja tidur, tetapi tidak dengan bumi yang selalu berputar, hingga waktu tak pernah beristirahat.
"Ayo gue bikinin," kata Levin seraya menghampiri Jean, "mi pedes kesukaan lo."
Mendengar itu, sudut bibir Jean terangkat ke atas. Rasa kesal terhadap abangnya seketika menguap. Hanya dengan Levin lah ia bisa menjadi gadis yang manja.
Seperti biasa, Jean selalu mengekor di belakang Levin. Sesampainya di dapur yang berada di lantai satu, mereka mulai membagi tugas. Levin memotong sayuran, bawang, dan cabai, serta menumisnya. Setelah itu, barulah Jean merebus mie dengan bahan-bahan yang telah ditumis.
Setelah beberapa tahun, akhirnya Jean bisa menghabiskan waktu di dapur bersama lelaki itu. Rasa-rasanya waktu berjalan begitu lambat karena Jean terlalu menikmati setiap detiknya.
"Je, lo yang bawa mangkuknya ya," perintah Levin, setelah selesai mengaduk mi dengan bumbunya.
Jean mengangguk. Ia pun beranjak menuju ruang tengah dengan membawa semangkuk mi rebus. Gadis itu tak bisa menahan keinginannya untuk mencium aroma makanan cepat saji itu.
"Kenapa ngikutin gue?" tanya Jean pada Levin selepas meletakkan mangkuknya di meja ruang tengah.
Levin duduk di samping Jean, lalu meringis. "Minta lah. Gue kan juga ikut bikin."
"Nggak boleh!"
"Pelit lo!" seru Levin. "Kapan-kapan gue mau nikah sama cewek bule biar bisa diajak makan mi berdua!"
Jean terkekeh. "Iya iya, makan bareng. Sensi amat."
Mendengar ucapan adiknya, Levin segera merapatkan tubuhnya pada Jean, lantas tersenyum jahil ketika melihat sebuah sendok yang disisihkan Jean. Bukannya ikut menyantap makanan itu, Levin malah memajukan sendok dengan mi yang sudah berada di atasnya.
"Gue suapin," kata Levin.
Tanpa pikir panjang, gadis itu membuka mulutnya. Sesaat sebelum sendok tersebut menyentuh indra pengecapnya, Levin dengan cepat memutar arah benda itu dan melahap minya.
Dengan segenap rasa kesal, Jean langsung menggeser mangkuk mi agar menjauh dari abangnya. Ia tak akan membiarkan makanannya disantap orang menyebalkan seperti Levin, kecuali jika lelaki itu berubah menjadi tokoh baik seperti novel-novel yang kerap dibacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...