Jean memegangi kepalanya yang terasa sangat berat dan berputar-putar, lantas memijitnya beberapa kali sampai ia merasa kesadarannya telah pulih. Gadis itu pun mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kamar ini terasa asing dan ia sadar bahwa ruangan ini bukanlah kamarnya.
Jean ingin bangkit dari tempat tidur itu, tetapi ada suara berat yang mencegahnya.
"Udah sadar?" ucapnya, "tiduran aja dulu."
Saka yang sedari tadi duduk di sofa pun menghampiri Jean saat mendengar suara ranjang yang berdecit. Kemudian, Saka duduk di tepi ranjang, membuat Jean kembali menidurkan badannya.
"Ini kamar gue, kalau lo mau tahu," kata Saka, memberitahu. Jean sendiri hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
Saka tiba-tiba menatap kedua manik hitam pekat di hadapannya. "Kenapa lo bisa gini, Je?" tanyanya to the point. "Kalau ada masalah tuh ceritain ke gue, jangan dipendem sendiri. Gue nggak mau khawatir sama lo. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."
Tidak ada jawaban dari lawan bicara. Gadis itu memilih bungkam. Pandangannya telah jatuh dan dikunci oleh Saka.
"Kita temen kan?"
Saka ... Saka. Lelaki itu malah semakin memperjelas hubungan keduanya. Yah, mereka memang bukan siapa-siapa. Hanya sepasang manusia yang tak berani melewati garis batas. Akan tetapi, kenapa Jean harus berharap lebih?
Mendadak teringat dengan perjanjiannya dengan Saka yang menyatakan tidak akan menyukai satu sama lain. Namun, kesalahan terbesarnya adalah karena Jean telah melanggar perjanjian yang ia buat sendiri.
"Iya, kita temen," jawab Jean sambil tersenyum miris.
Saka balas tersenyum. Disaat seperti ini, Jean masih sempat-sempatnya melempar kagum. Siapa yang tak tahan dengan senyum semanis itu?
"Jangan bikin gue khawatir lagi, ya?" Saka mengacak puncak kepala Jean, seperti yang sering dilakukan Levin, abangnya.
Jean kembali mengangguk. Ah, ia jadi ingin pulang ke rumah.
Suasana canggung kembali menyerang. Untungnya, terdengar suara ketukan di pintu. Keduanya pun menjatuhkan pandangan ke arah seorang wanita yang melangkah dari ambang pintu sambil membawa sebuah mangkuk dengan asap yang masih mengepul di atasnya. Terlihat cantik.
Ini bundanya Saka? pikir Jean.
"Eh, kebetulan Jean udah bangun," ujar Hana, kemudian meletakkan mangkuk itu ke meja kecil yang berada di dekat Saka.
Jean tersenyum kikuk. "Iya, Tante." Ia pun menoleh ke arah Saka, ingin mendapatkan jawaban, kenapa bundanya itu bisa mengetahui namanya.
Seolah paham dengan tatapan Jean, Saka segera mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu, lalu berbisik. "Bunda gue bukan cenayang ya, gue yang kasih tahu."
"Jean, udah Tante buatin sup ayam, masih hangat ini," ujar Hana, dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah cantiknya. "Maunya Tante apa Saka yang suapin?" godanya.
"Kalau nggak ngerepotin, Tante aja yang suapin Jean," jawab Jean. Pikir saja sendiri, kenapa Jean menolak mentah-mentah jika Saka yang menyuapinya. Hal itu sama sekali tidak baik untuk jantungnya!
"Saka aja ya, Sayang, soalnya Tante mau beresin dapur dulu," jawab Hana, jauh dari ekspektasi Jean.
Saka yang hanya menyimak sedari tadi tiba-tiba merasa kesal."Terus, kenapa Bunda suruh Jean buat pilih mau disuapin sama siapa? Orang ujung-ujungnya Saka juga yang suapin."
Hana mendelik. "Kenapa? Kamu mau jadi anak durhaka?"
Saka hanya meringis lebar. "Nggak kok, Bun!" katanya. "Bunda lagi pms ya? Galak amat perasaan."
Setelah mendengarkan ocehan anaknya, Hana hanya tertawa kecil. "Udah! Udah! Bunda bercanda doang ini, Sak," ujar Hana enteng, lalu mengalihkan pandangan ke arah Jean. "Tante ke dapur dulu ya, Jean. Harus habis loh supnya."
Hana pun beranjak dari sana, meninggalkan Jean dan Saka yang masih membeku.
Saka berdeham, berusaha mengusir kecanggungan yang menyeruak di sekitarnya. "Duduk dulu, baru gue suapin."
Gadis itu menggeliat, berusaha memosisikan tubuhnya agar duduk dan bersandar di headboard. Ketika merasakan ada tangan lain yang membantunya, Jean tersenyum simpul. Bagaimana kabar jantungnya? Tentu saja tidak baik. Jangan sampai jantung Jean rusak hanya karena perhatian kecil yang Saka berikan.
Setelah meletakkan bantal di belakang Jean sebagai sandaran, Saka mulai menyendokkan sup itu ke mulut gadis itu.
Satu suap.
Dua suap.
Tiga suap.
Dan berlanjut ke suap-suap berikutnya.
Akhirnya sup ayam buatan Hana tandas dari mangkuk. Ternyata Saka sangat cekatan dan pintar membujuk Jean agar menghabiskan supnya.
"Lo jangan tidur dulu," cegah Saka setelah meletakkan mangkuk ke tempat semula. Ia pun berjalan keluar, kemudian kembali dengan membawa segelas air putih, "Maaf ya, tadi Bunda gue lupa bawain air putih," ucapnya. "Nih, diminum."
Jean menurut saja. Ia langsung menerima gelas tersebut dan meminumnya hingga habis setengah gelas. "Makasih."
Saka mengangguk. Lelaki itu pun meletakkan gelas tersebut ke meja. "Je, gue harus kabarin Abang lo nggak?"
Pertanyaan itu membuat Jean menghela napas kasar. Ia teringat kejadian yang telah terjadi beberapa jam yang lalu. "Iya, tapi jangan suruh dia buat jemput gue."
"Lo nggak masalah kalau gue nginap di sini semalam aja? Gue mau kok tidur di sofa, di karpet juga boleh, asalkan gue nggak ketemu Levin buat sementara waktu, gue mau," lanjut Jean.
Kedua pilihan, yaitu menyembunyikan keberadaan Jean dan menyuruhnya pulang, sama-sama mempunyai risiko yang besar. Jika saja Saka membiarkan Jean menginap, keluarga Jean akan khawatir, mengingat gadis ini baru saja menenggak minuman berdosa. Namun, jika Saka mengantarnya kembali ke rumah, lebih bahaya lagi karena ia yang akan dituduh macam-macam, ditambah dengan kemungkinan Jean begini karena kabur dari masalah keluarganya.
Saka membasahi bibirnya sendiri, merasa gelisah. Sebenarnya ia tak mau terlibat. Namun, apa daya, melihat kondisi Jean yang seperti ini membuatnya luluh juga.
"Lo tidur di sini aja. Gue udah biasa tidur di sofa." Pada akhirnya, jawaban itulah yang keluar dari mulut Saka. Yap, keputusannya sudah sangat jelas. Ia hanya perlu membiarkan Jean di kamarnya semalaman, lalu menelepon Levin pada pagi harinya.
Jean menampakkan senyum tawarnya. "Lo baik banget sama gue. Makasih."
"Gue emang baik, apalagi ganteng," ucap Saka, berniat mencairkan suasana. "Lo tidur gih."
Jean langsung membaringkan tubuhnya. Ia pun menutup kedua matanya, berlagak tidur. Melihat itu, Saka terkekeh sebentar, kemudian menghampiri sofa dan tidur-tiduran di atasnya.
Setelah itu, Jean benar-benar tertidur pulas, sebab terlalu lelah dengan semua masalahnya. Namun, berbeda dengan Saka yang tetap terjaga sepanjang malam, sembari menatap gadis itu.
Tak disangka-sangka, kakinya malah melangkah mendekati ranjang dan kembali duduk di tepinya. Untuk beberapa saat, Saka mengamati wajah Jean yang damai, wajah yang ketika tidur tak menampakkan raut ketusnya. Benar-benar tampak seperti gadis yang polos.
Entah mendapat bisikan setan dari mana, Saka mendekatkan wajahnya dan hampir saja mengenai bibir gadis itu.
Lelaki itu segera bangkit dari duduknya, mengambil jarak beberapa langkah dari ranjang. Ya Tuhan, wajahnya memanas seketika.
Saka menampar pipinya sendiri. "Udah nggak waras lo, Saka!"
***
Hehehe, hampir aja khilaf :(
Mari kita tampol Saka berjamaah!
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...