Di sinilah Jean sekarang. Di sebuah ruangan luas di sekolahnya, yang biasa disebut aula, dengan beberapa orang yang sedang sibuk berlagak menjadi orang lain. Orang-orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah teman sekelasnya yang ikut berperan dalam drama Tangled.
Jean bersandar pada tembok sambil memeluk lututnya sendiri. Sedari tadi belum ada satu orang pun yang menariknya ke dalam perkumpulan. Saka yang biasanya tampak kurang kerjaan saja sedang mengurusi properti bersama Bayu. Entah sejak kapan keduanya menjadi sedekat itu.
"Cita-cita gue sekarang kayaknya jadi Bayu aja deh," katanya asal. "Kalau nggak, ya jadi properti."
Tiba-tiba ada tangan jahil yang mengagetkan Jean. Ternyata Aiden.
"Lo kok sendirian aja?" tanyanya dengan senyuman lebar. Bukan senyuman yang konyol, tetapi senyuman yang menyiratkan kehangatan. Aiden memang seperti itu. Ia terlalu ramah untuk Jean yang keras hatinya.
"Hmm," jawab Jean dengan gumaman.
Aiden terkekeh. Di tengah riuh rendah anak-anak lain yang sibuk dengan urusannya masing-masing, Jean lebih betah menikmati waktunya sendiri. Memencil. Ia bersahabat baik dengan kata hati dan pikirannya. Lelaki itu heran, bagaimana Jean betah dengan kesepiannya?
"Jangan sendirian terus, apalagi ngelamun kayak tadi." Aiden menyamankan posisi duduknya di lantai, di samping Jean. "Katanya melamun itu aktivitas di antara dunia nyata sama dunia ghaib."
"Kirain Kak Aiden orangnya realistis," celetuk Jean, tak sadar dengan apa yang ia katakan, karena matanya masih setia mengikuti bayangan Saka. Lelaki itu baru saja menendang bokong Bayu.
Tiba-tiba Aiden tertawa, sukses membuat Jean menoleh sempurna ke arahnya. Apakah Jean salah bicara? Ia sama sekali belum sadar telah memberi respons yang tak semua orang berani mengatakannya pada Aiden yang perfeksionis, sekaligus mantan ketua OSIS yang disegani.
Jean menggaruk bagian belakang telinganya yang tak gatal. Bingung dengan apa yang terjadi. Setelah itu, ia mencoba untuk mengabaikan Aiden yang terus meliriknya dari samping. Tatapannya terasa merobek kulit, menembus jantung, lalu mengoyaknya. Alhasil, Jean merogoh sakunya dan memakai masker berwarna hijau muda. Tentunya hal tersebut menjadi cara yang bodoh untuk mencegah Aiden terus menatapnya.
"Kenapa, Je?" Aiden menyadari jika Jean menjadi salah tingkah.
"Oh, ng-nggak apa-apa."
"Beneran?"
"Banyak debu, Kak."
Lagi-lagi Aiden terkekeh. Lucu juga gadis ini, pikirnya. "Mau gabung ke sana nggak?"
"Ngapain?"
Aiden menghela napas berat. Ternyata Jean belum tahu perihal alasannya datang kemari. "Latihan, Sayang. Gue, kan, yang ngelatih drama kelas kalian."
Di balik maskernya, kedua pipi Jean memanas. Sayang? Baru kali ini ia mendapatkan panggilan seperti itu dari lawan jenis, kecuali saat Herman memanggilnya begitu sewaktu kecil. Sedikit risih, banyak terkejut. Jean pura-pura meringis sambil ber-oh ria.
Mereka pun menghampiri anak kelasnya. Jean sempat melemparkan tatapan ragu ke arah Aiden. Ragu, tentang apa yang akan diajarkan lelaki itu untuk memoles perannya dengan Saka. Jangan sampai ia mengajarkan hal di luar ekspetasinya.
"Mana yang namanya Saka? Suruh anaknya ke sini!" perintahnya, tetap terdengar santun. Beberapa anak bergegas meneriaki nama Saka, sedangkan oknum yang dipanggil sedang sibuk memotong kertas menjadi bentuk orang-orang yang saling bergandengan.
"Oh? Eh, iya!" Bukannya berjalan seperti biasa, Saka malah berlari kencang ke arah Aiden. Hampir saja tubuhnya menabrak tubuh Aiden jika saja lelaki itu tak segera mengerem langkahnya. "Kenapa?" tanya Saka, setelah berhadapan dengan Aiden, si sosok perfeksionis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...