48 - Ujung Pengakuan

815 109 22
                                    

Dengan tinggi 140 cm, Jean yang sedang melompat-lompat kegirangan jadi tampak menggemaskan. Setiap orang yang ia temui, pasti menjadi korban dari senyuman Jean yang terlihat manis sekali.

Tangan kecilnya melambai ke arah mamanya yang berdiri di depan gerbang rumah, sembari mengamati tingkah putrinya. Mendadak tawa lebarnya luntur saat mendapati Jean yang jatuh karena tersandung kakinya sendiri. Ia menghampiri Jean, tapi tak bisa berjalan cepat, sebab tengah hamil besar.

"Jean nggak apa-apa, kan?" tanya Lusi, memastikan keadaan putrinya. Sementara, Jean hanya menggeleng sambil menarik ujung bibirnya ke atas.

"Sakit dikit kok, Ma. Tapi nggak apa-apa," jawab Jean. "Ma, Jean mau jalan-jalan di sekitar sini, ya! Boleh?"

Lusi mengangguk saja. Ia tak mau terlalu mengekang Jean. Asalkan gadis kecil itu mau bertanggung jawab atas keinginannya.

Kali ini Jean berjalan biasa. Tak berani melompat-lompat heboh lagi, karena ia tahu bahwa jatuh itu rasanya sakit.

Matanya membulat sempurna, ketika menemukan segerombol anak sedang merundung anak lelaki seumuran dirinya. Menjambak, memukul, bahkan menarik-narik bajunya. Jean melangkah maju dengan berani, membusungkan dada, dan mendongakkan kepalanya. Ia percaya diri bahwa segerombol anak itu akan takut padanya.

"Hei, kalian!" seru Jean, membuat semua mata tertuju pada gadis itu. "Nggak boleh ya, bully bully orang gini. Nggak baik!" katanya, seraya menggembungkan pipinya.

"Masih bocah aja udah belagu lo!" ejek anak lelaki yang paling tinggi.

Lantas, Jean mengeluarkan foto dari saku roknya. "Ini! Papa aku polisi! Kalian emang nggak bakal dipenjara, tapi kalau orang tua kalian tahu, kalian nggak bakal dapet uang saku selama setahun!" Gadis itu menunjukkan foto editan aktor Korea Selatan, Lee Minho, memakai seragam polisi. Tentu saja Jean membeli ini dari abang-abang yang berdagang di depan sekolah dasarnya.

Anak-anak itu saling melempar pandang. Sedangkan, korban perundungan yang kini sedang berjongkok dan menunduk itu, lamat-lamat mendengar bisikan dan gumaman bernada khawatir sekaligus takut.

Walaupun sempat memberikan tatapan tajam kepada Jean, pada akhirnya, gadis itu berhasil membubarkan aksi perundungan tersebut.

"Kamu ke rumah Jean aja, ya?" ajak Jean, kemudian anak itu bangun dan menuntun sepedanya, karena rantainya putus. Ia mengikuti Jean dengan langkah gemetar.

Sesampainya di rumah Jean, gadis itu segera memanggil papanya untuk memperbaiki rantai sepeda anak lelaki itu. Jean sangat serius. Ia seakan memastikan bahwa sepeda itu akan baik-baik saja.

Senyuman Jean melebar tatkala papanya berhasil memperbaikinya. Saking senangnya, Jean sampai mengajak papanya dan anak lelaki itu untuk melakukan tos.

"Makasih, ya," kata anak lelaki berwajah manis itu.

Jean meringis. "Ah, iya, sama-sama!" gugupnya sambil mengusap lengan. "Ngomong-ngomong, namamu siapa?"

"A...."

Jean kembali ditarik dari masa lalu. Sekarang, ia sedang duduk di depan ruang teratai, tempat Dara dirawat setelah dipindahkan dari ruang IGD. Gadis itu mengusap wajahnya kasar. Bahkan, bayangan masa lalu itu kembali terputar di otaknya, menyisakan Jean yang frustasi karenanya.

Tiba-tiba saja sebuah botol air mineral menampakkan diri, tepat di depan wajah Jean. "Nih, minumannya, biar nggak kesambet," sindir Saka, sesaat setelah melihat Jean yang agak kacau.

Jean menerimanya dengan senang hati. Ia meneguknya sampai setengah botol. Apalagi efek mabuknya semalam yang membuat pagi Jean terasa amburadul. Pusing, mual, mata bengkak, dan membuatnya sering melamun seperti tadi.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang