58 - Patah Hatinya Seorang Lelaki

642 94 9
                                    

Taman rumah sakit kali ini tidak terlalu ramai. Pastinya, orang-orang tidak akan mengunjungi taman ini untuk bersenang-senang dan berlibur. Bau obat dan bau anyir pun kerap tercium, membuat sebagian orang tak betah berlama-lama. Hanya taman ini yang terasa sedikit menyegarkan. Itulah mengapa Frei mengajak Saka ke sini.

"Mau ngomongin apa, Kak?" tanya Saka, mencoba tetap terlihat sopan, walaupun kakaknya ini tampak sedang ingin berkompetisi dalam memenangkan hati Jean.

Frei tersenyum sambil menggosok pahanya. "Gue seneng."

"Seneng karena ... taman ini lumayan bagus?" tebak Saka.

"Nggak," balas Frei cepat. "Gue seneng bisa ketemu Jean lagi."

Hati saka seperti ingin mencelus ke bagian bumi terdalam. "Ah, iya," jawab Saka, sekenanya.

"Biar gue pancing lo buat inget sesuatu," kata Frei. "Dulu lo lemah, Sak. Lo nggak inget? Pas kecil, anak-anak kompleks sering bully lo. Mereka nendang, mukul, sampai ngerusakin sepeda kesayangan lo."

Ketika Saka mengingatnya, ada sedikit luka masa lalu yang terbuka kembali. Dulu, memang ia selemah itu. Tapi, kan, Saka yang dulu berbeda dengan Saka yang sekarang. Ia sudah bertumbuh.

"Angkasa," panggil Frei. Lelaki itu memang sempat memanggilnya dengan nama Saka. Katanya, ia hanya ikut teman-teman Saka yang lain setelah mereka pindah rumah. Namun, saat Frei kembali memanggilnya Angkasa, Saka merasakan keseriusan di dalam nada bicaranya.

"Kenapa?" sahut Saka.

Frei menghela napas. "Jean. Waktu itu dia nolongin lo. Dia berani ngelawan anak-anak itu dengan cara yang konyol. Dan lo, sama sekali nggak punya akal buat ngelawan mereka," ujarnya. "Bahkan, kata lo, dia nawarin bantuan biar sepeda lo nggak rusak lagi."

"Aku baru ketemu sama dia, tapi dia udah baik banget sama aku," kata Angkasa yang berumur tujuh tahun, setelah menceritakan kejadian yang ia alami hari itu. Kini, ia dan Frei tengah memandangi Jean yang sedang bermain skuter dari lantai dua rumah mereka.

Frei tersenyum. "Sekarang, dia pasti lagi mikirin kamu."

"Beneran, Kak?" tanya Angkasa, antusias.

"Dia mikir, kenapa, ya, ada cowok yang lemah kayak kamu, Sa? Apa kamu nggak malu setelah dia lihat kelemahan kamu? Bahkan, di hari pertama kalian ketemu?" Ucapan itu terlontar dari anak lelaki berumur sepuluh tahun.

Angkasa tampak sedih. "Terus, aku harus gimana?"

"Angkasa, seharusnya kakak yang jadi teman Jean. Dan kamu, hanya perlu sembunyi, biar dia nggak tahu kelemahan lain yang kamu punya."

Saka langsung menatap Frei. "Tapi gue nggak kayak dulu lagi, Kak. Gue sempet belajar bela diri pas lo sekolah di luar negeri sejak SMP, gue lebih percaya diri, dan gue juga udah belajar banyak hal. Gue ngelakuin itu semua, karena gue yakin, gue bakal ketemu lagi sama Jean," tegas Saka. "Dan buktinya, takdir Tuhan berpihak sama gue."

Lagi-lagi, Frei hanya tersenyum. "Angkasa, di mata gue, lo tetap anak kecil. Lo yang sekarang, cuma bertumbuh layaknya cowok normal. Yang dia butuhkan bukan lagi kekuatan fisik atau kepercayaan diri lo, tapi kemampuan lo buat menjaga perasaan Jean." Lelaki itu balas menatap Saka dengan tajam. "Gue nggak tahu alasan Jean sampai pengin bunuh diri hari itu. Tapi gue yakin, semua ini ada sangkut pautnya sama lo, kan?"

Tatapan Saka melemah. Ia menunduk, membuat Frei merasa bahwa ia sudah mendapatkan jawabannya.

"Lo gagal, Sa. Semua yang lo usahain selama ini, nggak berbuah apa-apa." Kalimat Frei itu seakan menusuk perasaannya. Namun, ia sadar jika kenyataannya memang begitu.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang