3 - Masih Seperti Dulu

4.7K 389 201
                                    

Herman menatap anak laki-lakinya yang tak lagi mengajaknya bicara. Levin banyak berubah. Perubahan yang baik tentunya. Lelaki itu menjadi merasa bangga.

"Gimana disana? Betah?" tanya Herman.

"Betah, Pa," jawab Levin sekadarnya. Pandangannya enggan beralih dari televisi.

Ruangan tengah itu menjadi lebih senyap karena keduanya tak lagi melanjutkan percakapan mereka. Dua puluh detik dengan pikiran masing-masing.

"Belajar bisnis sama Om Har nggak susah juga sih, Pa. Tapi orangnya emang keras dan tegas." Levin kembali membuka suara. Tujuannya pulang adalah untuk menceritakan dan mendengar banyak hal, bukan diam seperti tadi.

Herman ingat betul dengan sosok Harmawan, yang merupakan adik kandungnya. "Kamu harus terbiasa, Vin."

Levin tampak menghela napas. "Levin udah terbiasa kok. Cuma nggak nyaman aja kalo terlalu keras, bikin jantungan."

Mendengar itu, Herman tertawa kecil. "Dulu, kakek sama nenekmu juga begitu. Papa hidup di lingkup keluarga yang keras. Mereka selalu ngajarin Papa buat nggak manja," jelasnya, "karena dunia bakal nginjek-nginjek Papa kalo Papa lemah."

Levin memandang Ayahnya lebih lekat. Ia mulai tertarik dengan topik yang sedang dibahas.

"Semua perintah mereka selalu Papa turutin, sesulit apa pun itu. Makanya, Papa juga mewarisi sikap mereka," lanjut Herman.

"Terus, Papa jadi suka emosi kalau ada orang yang nolak perintah Papa?" tanya Levin, penasaran. Selama 19 tahun hidup di dunia, ia tidak pernah menyinggung papanya dengan masalah sensitif seperti ini.

"Kadang." Herman meniup pelan teh panasnya, menyeruputnya sedikit, lalu meletakkannya ke meja. "Kalau menurut Papa benar, ya harus dikerjakan."

Herman menyadari bahwa pola pikirnya sama persis dengan Ayahnya dulu. Ia memejamkan mata, sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Tiba-tiba dari arah kamarnya, Jean menghampiri Levin dan Herman dengan penampilan sporty. Tak lupa pula tas ransel army berukuran sedang yang menggelayuti pundaknya.

"Jean pamit mau jogging dulu," ucapnya sambil mengikat rambutnya ke belakang.

Herman menatap Jean sekilas, tak sampai tiga detik. Ia lantas mengangguk sebagai jawaban.

Melihat adiknya mempunyai kebiasaan baru, Levin pun mengernyitkan dahi sebagai tanda tak percaya. "Sejak kapan kutu kupret doyan olahraga, Pa? Wah, mencurigakan. Jangan-jangan modus baru buat ketemuan sama co-"

Jean mendelik ke arah Levin, membuat lelaki itu membungkam mulutnya sendiri dengan satu tangan.

"Tanya sendiri, kan ada orangnya." Kalimat Herman terdengar begitu sinis di telinga Jean. Namun, ia berusaha untuk tidak menunjukkan respons lebih. Kalau untuk masalah itu, Jean sudah terbiasa.

Sementara itu, Levin menjadi tak enak hati. "Nggak jadi deh. Sana lo pergi aja, Je." Lelaki itu langsung menurunkan nada bicaranya.

Jean mengangguk, kemudian berbalik, meninggalkan Levin dan Herman di ruang tengah. Saat itu juga, Levin baru menyadari suatu hal yang ganjil. "Woi, setan! Itu tas gue kenapa dibawa?!"

Jean hanya menjulurkan lidahnya ke arah abangnya, sedangkan Levin sudah pasang kuda-kuda untuk melemparnya dengan bantal, membuat Jean berlari kencang menghindari Si Ayam Jago yang sedang mengamuk.

•ANGKASA•

Bukan Jean namanya kalau tidak pintar mengelabuhi orang. Setelah sampai di sebuah gedung berlantai tiga, Jean buru-buru masuk sambil mengamati keadaan sekitarnya. Tak butuh waktu lama setelah menaiki lift, ia sudah disambut oleh teman-temannya yang lain.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang