Jean terus menunduk dalam diam. Ia tak berani menatap Saka yang sedang menyunggingkan senyuman bagaikan bayi tak berdosa. Sudah cukup Jean menanggung beban perasaannya selama ini. Dua tahun, merupakan waktu yang tak sebentar. Gadis itu harus mengutarakan isi hatinya yang dengan lancang telah menaruh rasa pada lelaki yang duduk di sebelahnya itu.
Detik ini. Menit ini. Sekarang adalah waktu yang tepat.
Jean menggigit bibir bawahnya sambil menelan ludah. Berharap dengan ini rasa gugupnya akan hilang. Persetan dengan harga dirinya saat ini.
"Gue mau ngomong," kata Jean, terdengar gugup.
Saka mengangguk santai. "Lo punya mulut, jadi silakan ngomong." Nada bicaranya terdengar menyebalkan, tetapi Jean tak boleh terpengaruh.
"Gue ... jadi selama ini...."
Saka mengernyitkan keningnya. Ia kesulitan mengolah ucapan Jean. "Hah? Apa, Je?"
"Gue suka sama lo!" Empat kata itu berhasil meluncur dari bibir kecilnya dalam satu tarikan napas. Jean berusaha mengatur napasnya yang memburu, seakan baru saja melakukan lari cepat di lapangan sepak bola.
Empat kata bercampur emosi itu telah sampai di indra pendengaran Saka. Lelaki itu merengkuh tubuh Jean ke pelukannya, lalu mengusap pelan punggung gadis itu. Jean hampir percaya diri jika Saka akan membalas perasaannya, sebelum sebuah kalimat pendek menghancurkan angannya.
"Jean, lo nggak boleh gitu."
Apa maksudnya? Ambigu. Benar-benar ambigu. Kini akal sehatnya telah menolak untuk berpikir. Pun tubuhnya terasa panas dingin.
"Maaf Je, tapi gue nggak ada perasaan khusus buat lo," ungkapnya lagi. "Gue nggak mau pacaran sama lo. Gue nggak mau merusak persahabatan kita. Gue nggak rela kalau suatu saat nanti kita putus, kita jadi orang asing. Gue masih pengin kayak gini, Je, bareng-bareng tanpa menyakiti satu sama lain."
"Gue harap lo ngerti sama jawaban gue," lanjutnya, dengan nada bicara yang makin rendah.
Jean terisak dalam dekapan lelaki itu. Seharusnya dari dulu ia sadar jika Saka tak mungkin melabuhkan rasa. Semakin lama isakan itu semakin kencang, semakin terdengar menyakitkan, maka semakin erat pula pelukan Saka.
Pada saat itu, Jean menyadari bahwa detak jantung Saka berdetak dengan kecepatan normal, berbeda dengan miliknya yang bertalu-talu seperti ingin meloncat dari tempatnya. Gadis itu semakin yakin, bahwa hati Saka memang bukan untuk dimiliki.
Pip! pip!
Jean mengerjapkan matanya yang terasa berat ketika suara mobil menyapa pendengarannya. Ia menoleh ke samping dan mendapati Saka tengah memejamkan mata sambil bersedekap dada. Jean pun menegakkan badan dan menjauhkan dirinya dari Saka sejauh satu jengkal. Gadis itu mematung sejenak. "Untung cuma mimpi."
"Lo mimpi jorok ya, Je?" Suara berat milik Saka menggetarkan hatinya. Ternyata lelaki itu tak tidur, tetapi hanya sekadar memejamkan mata sambil menunggu Jean bangun dari tidurnya.
"Sok tahu," ketusnya, sebab mimpi tadi masih menggelayuti pikirannya.
Tanpa bicara lagi, Jean pun masuk ke mobil. Saat itu barulah Saka membuka matanya. Senyum tipis tercetak di bibir manisnya, meskipun diam-diam ia khawatir dengan perubahan sikap Jean yang sudah dingin menjadi bertambah dingin. Padahal baru kemarin malam kecongkakan Jean pada Saka seakan lenyap.
"Oh iya, baru inget kalau Jean lagi dapet," kata Saka, mencoba memaklumi.
Kaca mobil tertutup. Saka tak lagi bisa memperhatikan gadis itu dengan jelas. Sementara di mobil, Jean langsung menghambur ke pelukan abangnya, meluapkan segala kegelisahannya melalui air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...