"BANGUN WOI!!! GEMPA!!!"
"JEAN, ADA GEMPA!!!"
Jean merasa tubuhnya tengah diguncang oleh sebuah tangan besar. Dahinya berkerut, menandakan bahwa ia sudah sadar sejak tadi. Namun, tetap saja, matanya masih terasa berat, seperti ada sesuatu yang menimpa kelopaknya.
"Hngg ... mana gempa?" ujar Jean, setelah menguap beberapa kali. Ia sudah duduk dengan posisi tegak dengan mata yang setengah terbuka.
Saka mengacungkan telunjuknya ke arah pintu dengan ragu-ragu. "Tuh, liat sendiri!"
Jean menoleh mengikuti arah telunjuk Saka. Senyumnya mengembang, setengah hati. Ternyata Bu Rini, guru Bahasa Inggris bertubuh gempal, sedang berdiri di depan kelas sambil menatapnya tajam.
"Mampus lo, Je."
Jean bergidik saat Saka membisikkan sesuatu ke telinganya, bak iblis yang sedang meracuni pikiran anak manusia. Kalau saja tak ada guru berkacamata itu, Jean sudah menjejali mulut Saka dengan tisu.
Bu Rini melangkahkan kakinya menuju meja guru dengan membawa beberapa buku materi. Setiap detik terasa begitu mencekam. Apalagi guru itu sesekali melirik ke arah Jean yang sempat tertangkap basah sedang tidur dengan santainya.
Sebenarnya Jean cukup pintar dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, mengingat ia pemegang ranking lima di kelasnya. Namun, Jean lebih suka menjadi seorang pemalas dan mengabaikan perintah papanya agar bisa mengalahkan Dara, si bintang kelas. Setelah apa yang dilakukan Herman kepadanya, Jean seakan tak mau ambil pusing dalam memikirkan bagaimana caranya untuk menggenggam predikat ranking satu. Yang terpenting, Jean tak lupa mengerjakan tugas dan pulang ke rumahnya yang sepi dengan selamat.
"Lo ngerasain gempa nggak, Je?" gurau Saka dengan nada mengejek. Tak lama kemudian, terdengar suara pekikan yang tertahan. Ternyata Jean mencubit lengan lelaki itu. "Lo, kan, tahu sendiri gue paling nggak suka dicubit," protes Saka sambil mengelus bekas cubitan Jean.
Mulutnya nggak bisa kalem sih, batin Jean.
Saat Bu Rini duduk dengan nyaman di kursi guru, tatapannya kembali menajam. Bukan hanya ke arah Jean, tetapi juga ke seisi kelas yang terlihat kondusif sekarang. Ralat, menegang.
"Sekarang, coba kalian buka buku paket halaman empat puluh lima!" perintah Bu Rini, mengintimidasi. Kebanyakan anak-anak di kelas tak berani melakukan hal lain kecuali menuruti apa yang diucapkan guru tersebut, daripada jantung mereka menjadi kalap karena ucapan pedas Bu Rini.
"Lagi bejo aja lo, Je," ucap Saka, kembali mengungkit masalah Jean yang tidur seperti kerbau kelebihan berat badan.
Jean tidak peduli. Ia hanya menyangga kepalanya sambil menatap tulisan-tulisan berbahasa Inggris di buku dengan enggan. Saka benar-benar memperburuk segalanya. Ia berdoa agar lelaki di sampingnya ini bisa mengunci mulutnya.
Bu Rini menyapukan pandangan ke seisi kelas. "O, iya, kelas ini ada pr?"
Saka yang sedari tadi sibuk menjahili Jean, tiba-tiba mematung. Jelas ia teringat dengan pr Bahasa Inggris yang belum pernah terjamah. Saka pun mengangkat kedua tangannya, berniat merapal doa. Semoga saja nasibnya hari ini tak semalang biasanya.
"Ada pr, Bu!" ujar seseorang dengan lantang. Mendengarnya, Saka menoleh cepat ke arah bendahara bersuara toa itu. Kini, ia sudah memasang ekspresi geram. Dasar bendahara tidak tahu diuntung.
"Emang lo udah ngerjain?" tanya Dara yang duduk di samping Nata.
Gadis itu meringis, memamerkan deretan giginya yang rapi. "Sebenarnya belum."
Dara menatap Nata tak percaya. "Lo mau bunuh diri, Nat?"
Sementara itu, Bu Rini hanya tersenyum puas setelah ada murid yang memberitahunya. "Nanti bacakan jawabannya satu per satu di depan, sekalian saya tanda tangani. Bagi yang tidak mengerjakan pr, temui saya di kantor sepulang sekolah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...