47 - Hitam Pekatnya Penyesalan

859 112 24
                                    

Reyhan berjalan tergesa ke arah dapur. Tak ada pertanda apa pun, tapi ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Jarum jam tangannya terus bergerak, seolah memberi tahu bahwa Dara tak kembali sejak sepuluh menit yang lalu.

Ketika sampai di dapur yang masih remang-remang, Reyhan segera menyalakan lampu. Betapa terkejutnya ia saat mendapati gadis yang dikenalnya sejak SMP itu sedang duduk tak berdaya di lantai, dengan ruam merah hampir di sekujur tubuh dan napasnya yang tak teratur, seolah sedang berusaha mencuri udara sebanyak-banyaknya.

Reyhan panik, lalu duduk di dekat Dara sambil memegangi lengan gadis itu. "Ra! Dara! Lo kenapa?!"

Akan tetapi, Dara tak memberi respons. Reyhan pun berteriak-teriak memanggil teman-temannya seperti orang kesetanan.

Tak tinggal diam, Reyhan memendarkan penglihatannya untuk mencari apa pun yang sekiranya bisa membantu Dara. Namun, ia malah menemukan sepiring dimsum yang tinggal setengah.

"Je, dimsum apa yang ada di meja?!" tanya Reyhan dengan nada tinggi, ketika Jean baru sampai di dapur bersama Saka dan Juli.

Jean kaget dengan pertanyaan Reyhan yang terlalu tiba-tiba. Ia pun melihat dimsum miliknya tinggal setengah. Padahal, seingatnya masih ada lima dimsum di piring. Gadis itu mendadak teringat sesuatu, yang membuat air mukanya berubah.

"I-itu dimsum...."

"Dimsum udang, Je?" Itu suara Saka yang berada di samping kanan Jean. Tak terdengar membentak, tapi yang Jean rasakan mungkin nada ... kecewa?

Jean mengangguk lemah. "Di-dimsum ayam udang," jawabnya, membenarkan.

Reyhan dan Saka menghembuskan napas panjang. Sedangkan Juli, ia tampak bingung, ditandai dengan matanya yang bergantian menatap teman-temannya. Memang kenapa kalau ada udang dibalik dimsum?

"Lo pasti sengaja naruh dimsum di meja, biar Dara makan itu, kan?" tuduh Reyhan. "Padahal lo tahu kalau Dara alergi udang?!"

"Nggak gitu! Ta-tadi dimsumnya ada di lemari, Han!" elak Jean. Ia tidak merasa sudah memindahkan sepiring dimsum ke meja.

"Terserah!"

Tak mengindahkan Jean yang hampir menangis, ketiga lelaki itu segera membopong Dara dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Jean sempat mengejar mereka yang sudah masuk di mobil Saka, untuk memberi penjelasan sekaligus ingin tahu kondisi gadis itu. Tapi terlambat, Saka sudah melajukan mobilnya, meninggalkan Jean yang berjongkok di tengah jalan.

Mereka pergi bagai angin semu. Tetap tak tergapai, meski dengan sepuluh jarinya. Mereka menjauh, bersama gadis tanpa celah itu. Dan sekarang, lagi-lagi hanya kehampaan yang Jean rasakan.

Kang Yan yang melihat itu dari balik gerbang menjadi tak enak hati. Ia merasa perlu meluruskan sesuatu. Dikeluarkannya handphone dari saku celananya. Selepas itu, Kang Yan pun segera mengirimkan pesan singkat kepada seseorang.

Saka, itu bukan Jean.

•ANGKASA•

"Gimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Saka ketika melihat dokter keluar dari ruang Instalasi Gawat Darurat, tempat Dara dirawat.

"Karena alerginya sudah memicu respons anafilaksis, untuk saat ini, pasien harus dirawat secara intensif setelah kami beri suntikan epinefrin," jawab dokter tersebut.

"Harus dirawat, Dok?"

Dokter itu mengangguk. "Lebih baik begitu, untuk beberapa hari ke depan."

Saka mengusap wajahnya kasar. "Baik. Makasih, Dok."

Setelah dokter itu pergi, Saka kembali duduk di samping teman-temannya. Mereka tampak frustasi, termasuk Juli yang sudah mengerti keadaan Dara.

"Orang tua Dara udah tahu?" tanya Saka, yang dibalas gelengan oleh kedua temannya.

Saka pun mengeluarkan handphone miliknya, berniat memberi kabar buruk tentang Dara kepada orang tua gadis itu. Tapi, ada sebuah pesan singkat yang menarik perhatiannya, membuat Saka lupa pada tujuan utamanya menyalakan handphone.

From : Kang Yan
Saka, itu bukan Jean.

Dahinya berkerut. Apa Kang Yan sedang mencoba membela Jean?

To : Kang Yan
Terus apa Kang? Saka nggak mungkin percaya kalo piringnya bisa pindah sendiri ke meja.

"Kenapa, Sak?" tanya Reyhan, sebab melihat Saka yang terlihat tidak tenang.

"Nggak apa-apa," bohongnya.

From : Kang Yan
Kang Yan liat sendiri kalo Dara yang ambil piringnya dari lemari. Karena nggak tahu kalo Dara alergi udang, Kang Yan biarin aja dia makan dimsum. Sayangnya Kang Yan pergi abis itu, jadi nggak tahu kalo kejadiannya bakal separah ini. Kang Yan berani sumpah Sak, atas nama Kang Yan sendiri dan untuk kebaikan Non Jean.

Saka mematikan handphone dan menatap kosong lantai putih rumah sakit. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dari duduknya, dan meninggalkan kedua temannya itu.

"Sak! Lo mau ke mana?" seru Juli.

Lelaki itu menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Ini bukan salah Jean! Percaya sama gue!"

•ANGKASA•

Jean mengambil sebotol wine yang ia sembunyikan di lemari. Ia duduk di lantai kamarnya, lalu kembali menemui gelas kecil yang sudah ia siapkan sejak tadi. Pelan-pelan Jean menuangkan air itu ke gelas, kemudian menenggaknya. Rasa pahit yang tajam dan menyengat langsung menyerang lidahnya, mengalir ke tenggorokan, sehingga berhasil menciptakan sensasi hangat nan menenangkan.

Satu teguk, dua teguk, dan teguk berikutnya, semakin lama semakin membuatnya candu. Perlahan, Jean pun berhasil melupakan kegelisahannya, walau barang sejenak. Matanya yang sayu menatap sekitar. Sepi, dan rasanya ia berputar-putar dalam dunia semu.

Jean menoleh ketika seseorang membuka pintu kamarnya. Ia tersenyum hampa. "Hahhh ... Kang Yan, ya?"

Tangan gadis itu hendak menuang wine lagi. Namun, seseorang dengan cepat mengambilnya dari tangan Jean, lalu membuang minuman seharga lima ratus ribu rupiah itu ke tempat sampah.

Ternyata orang itu adalah Saka. Ia duduk menghadap Jean. Lelaki itu juga menyingkirkan gelas kecil yang menghalangi mereka, kemudian menangkup kepala Jean dengan kedua tangan, agar gadis itu bisa menatapnya.

Matanya menatap mata sayu Jean bergantian. Saka tahu, gadis itu tak sampai menangis. Tapi, apakah rasanya sesakit itu sampai Jean melampiaskan emosinya pada minuman ini?

Sudah dua kali Saka kecolongan. Waktu itu, Jean mabuk dan menangis di depan toko, dan sekarang gadis itu mabuk di rumahnya sendiri. Saka yakin, Jean melakukan ini bukan hanya sekali dua kali.

Melihat Jean begini, apalagi gara-gara Saka sendiri, berhasil membuat mata lelaki itu memerah. Ia merasa egois.

Saka menjauhkan tangannya dari wajah Jean. "Jean, maafin gue yang terlalu cepet ngambil kesimpulan. Gue ... bener-bener nyesel," katanya dengan sedikit gemetar. Sementara Jean, awalnya ia tersenyum kecil, tapi ekspresinya berubah dengan cepat menjadi melankolis.

Emosi Jean sudah tidak stabil akibat pengaruh alkohol. Gadis itu menangis, menumpahkan segala air mata yang tertahan sejak tadi. Jean memang cenderung seperti itu, daripada meluapkan emosinya dengan amarah.

Di matanya, Saka hanyalah gambar pudar yang semakin hilang terkikis masa. Jean tak bisa menghitung waktu, seberapa lama Saka akan terus berdiam diri. Yang Jean lihat di mata kaburnya adalah bayangan Saka yang semakin sulit untuk diraih.

Namun di tengah tangisnya, Saka melebarkan kedua tangan, lalu meraih tubuh Jean agar bergegas pergi ke pelukannya.

"Gue nggak mau ego gue meninggi, semakin tinggi ... sampai ngelukain lo," kata Saka sembari mengelus punggung Jean yang bergetar. "Maafin gue, Je."

Pada malam yang kian larut, Saka titipkan sebuah salam, tentang penyesalan yang begitu mendalam. Tanpa sahutan.

***

Wayo!
Segini dulu ya hehe

Ayo, readers! Tunjukkan eksistensimuu! ><

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang