Saka memandang bolpoinnya seolah benda itu lebih menarik daripada guru cantik yang berlenggak-lenggok sambil menyampaikan materi pelajaran.
Kursi di sebelahnya kosong. Lelaki yang menjadi tipe ideal gadis remaja itu menjadi kesepian. Beberapa kali ia menilik jendela, tapi bayangan Jean belum juga menyapa penglihatannya.
Tangan Saka merobek bagian belakang buku tulisnya. Seusai menuliskan sebuah kalimat, ia meremasnya hingga berbentuk bulat.
"Ssst ... sstt." Saka memulai aksinya dengan memberi kode pada gadis yang duduk di seberangnya.
"Kenapa?" tanya gadis itu. Sedikit gugup karena jarang sekali ia berinteraksi dengan Saka.
Saka menyodorkan gumpalan kertas tersebut. "Tolong salurin ke Dara."
Gadis itu melirik ke arah guru. Aman. Lantas, menerima uluran dari Saka. Ia memberikannya pada teman di sebelahnya. Terus berlanjut, sampai kertas tersebut mendarat mulus di meja Dara.
Dara, lo tau kenapa Jean nggak berangkat hari ini?
Kertas berisi pertanyaan itu sukses membuat Dara mengernyit bingung. Ia menoleh ke meja Saka. Benar saja, kursi Jean kosong. Dan pertanyaan yang sama pun muncul di pikirannya. Jean kenapa?
Setelah sibuk dengan pikirannya sendiri, Dara menoleh ke arah guru cantik yang sedang tersenyum ketika Saka menghampirinya.
"Bu, mau izin ke toilet," kata Saka dengan tak sabaran.
"Iya, silakan," balas guru cantik itu sambil tersenyum.
Dara kembali mengalihkan pandangan ke arah kertas yang dipegangnya. Bahkan, ia belum membalasnya!
•ANGKASA•
Saka sampai di toilet. Namun, tidak untuk menuntaskan panggilan alamnya. Izin ke toilet hanyalah alasannya agar bisa menghubungi Jean dengan benda persegi panjang yang ia selipkan di saku celana.
Keputusan ini Saka ambil karena Dara yang tak kunjung membalasnya. Dan gadis itu sukses membuang-buang waktunya.
Nada khas panggilan telepon menggema di seisi toilet. Ia beruntung karena tempat ini hanya ada dirinya, dan juga rasa khawatir.
"Jean, angkat telepon gue." Saka mulai gelisah. Ia berjalan mondar-mandir sembari memberikan tatapan khawatir pada layar ponselnya. "Lo di mana sih?"
Akan tetapi, tak ada tanda-tanda gadis itu akan mengangkat panggilannya.
•ANGKASA•
Di luar kaca mobil tampak lebih gelap, karena asap kendaraan yang mengepul seolah memberi kabut pada jalanan. Ditambah lagi dengan gedung-gedung yang berlomba mencakar langit. Sedangkan, beberapa pohon tertancap di pinggir jalan. Keadaan sekitar sama sekali tak mampu menghibur kegundahannya.
Relung hati Jean terasa sesak. Membayangkan lelaki di sebelahnya dan lelaki yang di duduk di samping sopir akan meninggalkannya sendiri. Setiap detik yang dirasakan Jean begitu berantakan. Sekarang, yang ia miliki hanyalah rasa sakit.
Kepergiannya pagi ini semata-mata untuk mengantar Levin dan papanya ke bandara. Sampai Jean harus rela bolos sekolah di hari senin. Padahal Jean sedang rindu. Bukan rindu sekolah, tapi lebih kepada lelaki yang mampu menaik-turunkan perasaannya, mencabik, lalu mengobatinya. Angkasa Adelardo.
Gadis itu mendesah pelan, membuat Levin menyadari ekspresi Jean yang tak biasa.
"Maaf, Je," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...