50 - Segera Menjumpai Titik Terang

794 103 4
                                    

Setiap hari terasa semakin buruk. Dalam seminggu ini, Jean merasa diasingkan di sekolah. Walaupun memang tak memiliki banyak teman, tapi kali ini, gadis itu merasa lebih hampa dari yang sudah-sudah. Apalagi mata-mata perempuan lain yang seolah mengintimidasinya setiap Jean melintas di hadapan mereka. Banyak yang menatapnya seolah-olah Jean adalah sepatu butut yang siap dilemparkan ke tempat sampah. Mereka mengaku berpendidikan, tapi hidup orang lain saja dibuat berantakan.

"Jean, ayo dimakan dulu," bujuk Saka sambil memainkan cilok yang ditusuk dengan garpu, seperti sedang bermain pesawat terbang. "Aaaaaa! Ayo, mangap!"

Jean mengedarkan pandangannya ke sekitar. Untungnya kantin sekolah sepi, jadi Jean langsung melahap cilok tersebut dengan cepat. "Makasih." Saka hanya tertawa sebagai respons.

Memang hanya kelas mereka yang sedang jam kosong. Maka dari itu, Saka mengajak Jean ke kantin daripada harus membaca buku sejarah seperti yang ditugaskan guru.

Saka hanya khawatir. Hari ini, Jean tampak lesu. Ditambah lagi, gadis itu tak mau diajak ke kantin saat jam istirahat.

Dewi Fortuna berpihak pada Saka, karena Jean termakan bujukannya untuk makan cilok di kantin, asalkan Saka yang bayar. Tak apa jika nanti Jean habis dua porsi, yang penting Saka bisa kembali menikmati senyuman Jean.

"Buset dah, masih mampu buat beli cilok lo?" sindir Nata yang tiba-tiba menampakkan diri. "Kalo bayar kas aja nunggak berbulan-bulan."

"Elah, cilok cuma goceng!" jawab Saka. Jika ingin menang dalam perdebatan ini, kuncinya hanya satu, ia harus lebih nyolot dari Nata!

"Eh, Surip! Kas kan cuma dua ribu per minggu, tapi lo nggak sanggup bayar! Miskin!" cerca Nata, tak mau kalah.

Saka melirik Jean. Ternyata gadis itu sedang menertawakannya. Akhirnya, Saka mengeluarkan uang berwarna hijau, lalu menyerahkannya pada Nata. Selepas menerimanya, mata gadis itu seakan-akan berubah menjadi hijau.

Lantas, Nata menggoyang-goyangkan uang itu di udara, sekaligus untuk mengejek Saka. "Gini dong! Kan demi kenyamanan bersama."

"Terserah Bundahara aja deh," pasrah Saka. Sementara, Jean masih asyik senyum-senyum sendiri.

"Asek, Mang!" sahut Nata, yang menjadi penutup dari perdebatan mereka. Ia pun memasukkan uang tersebut ke saku bajunya.

Setelah Nata pergi, Saka malah sibuk merajuk. Lelaki itu memasang wajah cemberut karena uangnya sudah berpindah tangan, yang malah membuat Jean semakin ingin mengunyah kepala Saka agar diam. Yah, tapi Jean tak bisa menyangkal, kalau Saka memang mempunyai sisi menggemaskan.

Diam-diam Jean tersenyum. Mendadak ia berpikir, jika Saka menjadi terlalu manis begini, tentu saja akan sangat berbahaya bagi kesehatan jantungnya.

•ANGKASA•

Jean sedang menunggu Saka di tepi lapangan basket. Ia terkekeh tatkala mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, saat Saka dipaksa piket oleh Nata. Jika Saka berani kabur lagi, maka tunggakan kas Saka akan menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, Saka menurut. Ia tak mau repot-repot mengeluarkan uang lagi hanya karena tak patuh pada perintah bendahara kelas itu.

Saka sangat malas mengerjakan rutinitas. Lelaki itu lebih senang melakukan hal-hal yang ia sukai, seperti memasak, dan mengganggu Jean, misalnya. Layaknya sekarang ini, meskipun Saka tak ada di sampingnya, Jean merasa bahwa lelaki itu sedang mengganggunya. Lebih tepatnya, mengganggu pikiran Jean.

Bruk!

Jean segera menoleh ke sumber suara. Ia membelalakkan matanya ketika melihat Eve, yang menjadi partner mencabut rumput yang ia lakukan beberapa hari yang lalu sebagai hukuman karena terlambat sekolah. Eve jatuh, dan di dekatnya ada bola basket yang menggelinding ke arah Jean.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang