"Long time no see,"
"Angkasa."
Suara itu berputar-putar di kepala Saka, seakan membiusnya. Kakinya mendadak lemas ketika mendapati lelaki bertubuh jangkung berdiri beberapa meter di hadapannya.
Sejak kapan ia di sini?
"Kak Frei?" panggil Saka, lebih menyerupai bisikan yang nyaris tak terdengar. Namun, tidak bagi Frei yang masih mempunyai pendengaran yang baik. Ia bahkan tersenyum saat adiknya itu menyebut namanya.
Tak menjawab. Lelaki dengan tinggi badan nyaris menyentuh angka 185 cm itu berjalan mendekat, menuntun Saka agar duduk di sofa.
"Apa kabar?" kata Frei.
Dua kata yang umum diucapkan akhirnya memecah keheningan. Frei tak henti-hentinya memajang senyuman kepada Saka yang tak dijumpainya selama kurun waktu empat tahun karena fokus mengenyam pendidikan di luar negeri.
"Baik," jawabnya singkat. Ia masih tak menunjukkan respons lebih.
Frei kembali tersenyum penuh arti. "Ah, oke. Gue juga baik," ujarnya, memberitahu Saka yang tak balik menanyakan kabarnya.
Saka memberanikan diri untuk menatap mata hitam pekat milik Frei. Ya, warna matanya tak pernah berubah. Hanya saja, wajah lelaki itu tampak lebih tegas, menyiratkan kedewasaan. Penampilannya juga rapi, menandakan bahwa Frei hidup dengan baik di luar sana.
Jika kalian menanyakan perbandingan terkait ketampanan dua lelaki ini, maka jawabannya, tidak ada takaran yang bisa mengukur siapa yang lebih tampan dari siapa. Tak jauh berbeda, kecuali pesona dan daya tarik masing-masing.
"Kak," panggil Saka, merasa segan. Sejujurnya, Frei merupakan orang yang ia hormati setelah kedua orang tuanya.
"Hm?"
"Lo nggak bawain oleh-oleh buat gue?"
Frei tertawa. Bagaimana pun Saka yang selalu dipanggilnya dengan nama Angkasa itu tetap terlihat seperti anak kecil di matanya.
"Tenang aja kali. Gue nggak akan lupa." Jemari Frei menelusup ke saku celananya, mengambil sebuah kotak berwarna rose gold.
"Take it," desaknya, kemudian mengangkat tangan Saka dan menaruh kotak tersebut di atasnya. Setelah itu, Saka tak berucap lagi. Ia sibuk mengagumi jam Rolex dengan harga fantastis tersebut.
"Suka nggak? Kalau nggak, ya ... nanti gue balikin ke tokonya."
"Mentang-mentang udah kaya." Saka menghambur ke pelukan Frei, berterima kasih sekaligus meluapkan rasa rindu. "Makasih, Kak."
"Jam tangan itu nggak ada apa-apanya sama waktu gue yang hilang selama ini."
Saka hanya balas tersenyum di balik punggung Frei. Meski ia sangat tahu, lelaki itu tak melihatnya.
•ANGKASA•
Pagi ini, tepatnya pada mata pelajaran pertama, Jean terus fokus pada lelaki yang tengah asik bersiul walaupun guru mulai menyapukan pandangan karena risih. Sepertinya Saka sedang dalam mood yang baik. Jadi, Jean membiarkan saja ia bertindak sesukanya. Toh, jika ketahuan guru, Saka yang akan dijejali hukuman.
Akan tetapi, entah karena pesona Saka yang terlalu kuat atau apa, Jean tak bisa menahan diri untuk tidak menatap lelaki itu dengan ekor matanya. Kedua mata, hidung, bibir, semuanya telah dipahat dengan indah.
Meskipun di dunia ini tak ada yang sempurna, berbeda dengan pandangan orang yang sedang jatuh cinta. Semuanya terlihat suci dan sempurna, mengalahkan sesuatu yang disebut kekurangan, hingga banyak orang berkata bahwa cinta itu buta.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...