55 - Karena Keputusanmu, Hujan Turun

593 96 4
                                    

Bi Kasih, pengasuh Jean sekaligus pembantunya di rumah, memegangi pundak Jean yang sedikit gemetar saat kedua orang tuanya makin menghilang dari pandangannya. Jean selalu begitu, merasa berduka setelah ditinggal mama dan papanya ke Aussie naik pesawat.

Tante Jean yang bernama Anna, berjongkok di depan gadis kecil itu. "Jean, Mama dan Papa sayang banget sama Jean, loh. Mereka sampai rela naik di pesawat yang berbeda."

Jean mengusap sudut matanya yang sedikit berair, lalu menoleh ke arah Anna. "Kenapa, Tante?"

Anna mengelus puncak kepala Jean. Menggemaskan sekali anak kakaknya ini. "Pesawat kan, kadang rusak. Biar Mama dan Papa nggak dapat salah satu pesawat rusak itu, mereka harus naik pesawat yang beda. Jadi, kalau ada apa-apa, Jean masih bisa bareng-bareng sama Mama atau Papa."

Anna merasa sedikit bingung. Oleh karena itu, ia hanya menjelaskannya begitu. Yang intinya, mereka tidak ingin satu pesawat, karena jika pesawat itu jatuh, mereka berdua tak lagi bisa mengurus Jean.

"Semoga Mama sama Papa nggak naik pesawat rusak ya, Tante," kata Jean.

"Amin."

Sayangnya, doa itu tak terkabul. Lucy harus pergi lebih dulu, karena mengalami kecelakaan pesawat. Hal lain yang mengiris hati Jean adalah karena adik kecilnya belum sempat melihat dunia, dan Jean pun tak berkesempatan mendengar tangis adiknya itu.

Dunia tak adil kepadanya, pikir Jean kala itu.

Jean mengedipkan mata beberapa kali, lalu tersadar bahwa jiwa dan raganya sedang memasak mie instan di dapur. Gadis itu pun lanjut mengiris cabai, sembari menunggu mienya matang.

Sebuah pikiran jahat melintas di pikirannya, membuat Jean menatap pisau yang sedang dipegangnya. Ia mengelap bagian yang tajam dengan lap kain, kemudian mengangkatnya sejajar dengan wajah. Sayang sekali, setan kembali menguasainya.

"Lumayan tajam," gumamnya. Lantas, Jean mengarahkan pisau ke pergelangan tangan kirinya, menekannya sedikit, tapi tak sampai melukainya.

Tiba-tiba tangan Jean gemetar, sukses membuat pisau itu terlepas dari tangannya. "Ah, lupa, gue kan fobia darah."

Jean pun kembali fokus membuat sarapannya. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba saja mencengkeram pundak gadis itu, lalu memutar badannya agar menghadap ke arah orang itu. Belum sempat menatapnya, Jean sudah mendapatkan sebuah tamparan keras di pipi kirinya. Jean melotot marah. Namun, seketika dirinya dibuat terkejut setengah mati setelah melihat orang yang sudah menamparnya.

"Levin? Kenapa-"

"Gila lo, Jean! Gue setengah mati nahan kangen sama lo, tapi lo malah kepikiran buat bunuh diri?!" teriak Levin, memenuhi seisi dapur. "Gue kan selalu bilang, kalo gue bakal cepet balik! Jadi, gini cara lo buat nunggu gue sama Papa pulang?!!"

Jean yang merasa diserang secara tiba-tiba pun menjadi kebingungan. "A-apa maksud lo?"

Pertanyaan itu langsung terjawab saat Jean menyadari bahwa Saka berdiri tak jauh dari Levin. Ia sedang menatap Jean datar, tapi ... sendu?

"Oh, i see. Pasti dia yang lapor ke lo, kan?" ujar Jean, dengan menekankan kata 'dia' sambil menatap Saka.

Sekali lagi, Levin menampar Jean. Ia merasa Jean tak menyesal karena pernah mencoba mengakhiri hidupnya. "Sadar lo, Jean!" serunya, "kalo mau bunuh diri, ayo, bunuh diri di depan gue!"

Jean hanya diam saat Levin menyodorkan pisau ke arahnya. "Nih, ambil!" suruh Levin, dengan emosi di atas ubun-ubun. "Lo bisa bunuh diri di rumah, kenapa harus repot-repot cari jembatan?!"

Levin sangat was-was saat Jean mengambil pisau itu. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Akan tetapi, Levin dengan cepat menghela napas lega ketika Jean meletakkan pisau ke tempat semula.

"Gue masih pengen hidup, biar gue tau seberapa banyak orang yang masih peduli sama gue," ucap Jean dengan nada rendah. "Kalo nggak ada, gue bakal tetep jadi Jean yang menyedihkan."

Setelah mengatakannya, Jean menatap Saka yang seakan tak siap mendapatkan tatapan tajam itu. Lelaki itu sempat mengalihkan pandangan, tapi pada akhirnya, mata Saka akan tetap berpulang pada Jean.

"Gue pengen ngomong sama dia, jadi lo bisa ke kamar lo dulu," suruh Jean pada Levin, tanpa mengubah arah pandangannya.

Levin pun menurutinya. Kini, hanya menyisakan Jean dan Saka di dapur itu. Saka mulai merasakan hal yang tidak beres. Apalagi, belakangan ini hubungannya dengan Jean sedang tak baik-baik saja.

"Lebih baik nggak usah ada 'kita'. Gue hidup sebagai Jean, dan lo hidup sebagai diri lo sendiri. Sekarang, kita orang asing."

Kan.

Saka memajukan langkahnya, berniat membujuk Jean agar merubah pikirannya. Akan tetapi, semakin ia maju, maka semakin Jean mundur.

Diam-diam, Jean meremas ujung bajunya. Ia berusaha menahan segala gejolak yang tak boleh diluapkan.

"Udah cukup. Gue capek."

Pertemuan itu diakhiri dengan kalimat Jean yang semakin membuat Saka hancur. Benar kata Jean, sepertinya sudah tak ada lagi kata 'kita'. Mereka akan hidup tanpa memikirkan satu sama lain, lagi.

•ANGKASA•

Di tempat parkir One-Fifteenth Cafe, Saka berteriak dengan frustasi. Ia menjambak rambutnya dengan kencang, berpikir bahwa cara itu bisa menghilangkan peningnya. Bodoh memang. Wendy saja sampai tak dihiraukan keberadaannya. Padahal, siapa lagi yang akan datang pukul sebelas malam hanya untuk menemani lelaki puber yang sedang galau masalah cinta, jika bukan Wendy orangnya?

"I hate you to the moon and back," hina Wendy, "karena lo bodoh maksimal!"

Mendengarnya, Saka yang sedang berjongkok pun langsung menoleh. "Gue tau lo blasteran, tapi, bisa nggak, lo nggak usah pake bahasa Inggris? Gue pusing!"

Wendy mendesis kesal. "Lagian, gue udah kasih lo kesempatan bagus buat nunjukin perasaan lo sama Jean lewat dare itu, tapi malah lo sia-siain, goblok! Saka goblok!"

Sejak keduanya bertemu lagi, Saka memang mulai terbuka pada Wendy perihal perasaannya kepada Jean. Sebuah kebetulan yang menyenangkan bagi Wendy, ketika sahabatnya menjadi incaran ketua Teens Go Green itu.

Ternyata mendekatkan Saka yang cemen dengan Jean yang keras kepala tidak terlalu sulit. Cukup dengan mengajak Jean bermain ToD di kafe tempat Saka bekerja, semua rencananya berjalan sempurna. Wendy memang sudah menyiapkan masing-masing truth dan dare untuk Jean. Truth, Wendy akan bertanya mengenai perasaan Jean kepada Saka. Dare, yang berisi ide cemerlang dadakan Wendy yang nyatanya sempat membantu Saka. Namun, pada akhirnya, Saka harus menelan kenyataan pahit.

"

Setelah kejadian ini, gue mau lihat, apa lo masih bisa ketawa, Sak." Kalimat Wendy itu tak terdengar mengejek, tapi lebih ke prihatin. Apalagi saat hujan tiba-tiba jatuh, kembali menjadi saksi pertumpahan air mata dari manik indah Saka yang mulai meredup. Melihatnya, Wendy tak tega.

"Buat sekarang, mungkin gue belum bisa ketawa. Tapi, kalo semua keinginan gue cepet terkabul, gue nggak akan pernah tahu rasanya bersabar," ujar Saka, mencoba menyemangati diri sendiri. "Bilang sama gue, Wen, selama gue bersabar, perasaan gue sama Jean bakal terbalas, kan? Iya, kan?"

Wendy menatap Saka yang sudah basah kuyup, sama seperti dirinya, dengan senyuman hangat bak seorang kakak. "Iya, sesuai keinginan lo."

***

Akhirnya, beban part 55 selesai juga! Huft!
I hope you like it, guys! Walaupun, masih banyak kekurangan.

Btw, jangan bosen kasih krisar, ya❤️

With love,
Selenophilez🌜

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang