Jean melucuti seragam sekolahnya, lalu menggantinya dengan kaos kebesaran dan celana selutut. Sekarang, pandangan Jean tertuju pada dreamcatcher yang terpajang di dinding kamarnya. Ia pun mengambilnya, kemudian memutuskan untuk menyimpannya di dalam sela-sela lemari pakaian. Saat itu pula, Jean melihat hoodie yang dibelikan Saka di tempat bermain.
"Biar nggak ada cowok yang lirik tubuh lo," ujar Saka kala itu.
Jean sadar, Saka memang banyak memberi, tapi lelaki itu tak pernah berniat memberikan hatinya kepada Jean. Padahal, mereka tak paham, karena sama-sama menganggap cintanya bertepuk sebelah tangan.
Jean memilih untuk berjongkok di depan toples kaca berisi ikan koi. Tatapannya beralih pada makanan ikan yang hampir habis. Gadis itu sedih, membayangkan bahwa ia tak lagi bisa membeli makanan ikan bersama lelaki itu.
Terlalu banyak kenangan, sampai kerepotan untuk menghapusnya satu per satu.
Sementara Jean sedang memberi makan ikan koi itu, tiba-tiba Levin sudah ikut berjongkok di dekat Jean. "Sejak kapan lo pelihara ikan koi, Je?"
"Sejak gue pelihara ikan," jawab Jean, sekenanya.
Levin menghela napas. "Wah! Iya juga. Kenapa gue goblok, ya?" ujar Levin, setengah kesal, "jadi nyesel nanya."
Tak ada lagi sahutan. Keduanya sibuk memperhatikan ikan koi yang sedang menyantap makanannya. Levin sama sekali tidak tertarik, tidak seperti saat dirinya menonton mukbang. Ini mah, buang-buang waktu.
"Papa kenapa nggak ikut pulang?" tanya Jean tanpa aba-aba, membuat Levin tersedak ludahnya sendiri.
"Kan papa emang lagi ada urusan, Je. Gue harap lo ngerti," jawab Levin, yang sama sekali tak membuat Jean puas.
Sudah hampir satu bulan sejak Herman dan Levin pergi, tapi papanya sama sekali tak memberi kabar. Selama ini, hanya Levin yang peduli. Entahlah, Jean sakit kepala setiap memikirkannya.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi, mengalihkan atensi keduanya yang kini saling berpandangan. Akan tetapi, Jean kembali mengalihkan perhatian pada ikan koi kesayangannya. Biar saja Levin yang membuka pintu.
Merasa adiknya sedang malas, Levin pun mengalah. Ia bergegas menuju pintu depan untuk melihat siapa tamu yang datang sore-sore begini.
Levin langsung membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang datang. Ternyata Saka. Lelaki itu tampak berantakan, tapi tetap berusaha memaksakan senyum di hadapan Levin.
"Ah, Sak," ujar Levin, canggung, "gue nggak tahu Jean bakal mau ketemu sama lo atau nggak." Levin sendiri memang mendengar semua percakapan Jean dan Saka tentang berakhirnya hubungan mereka. Malamnya, lelaki itu meminta penjelasan, dan Saka pun rela menjawabnya dengan jujur. Levin tak marah, asal Saka benar-benar tulus menyayangi adiknya.
Saka berkedip beberapa kali, tanda tak yakin. "Gue bakal berusaha."
Tak lama kemudian, Jean ikut menghampiri Levin, yang artinya, ia melihat Saka ada di sana. Gadis itu pun bergegas masuk, tapi Levin dengan cepat menahan tangannya.
"Jangan egois, Jean," peringat Levin.
Akhirnya, Jean tak lagi bersembunyi. Meskipun begitu, ia tetap tak mau berbicara. Menatap wajah Saka saja, Jean enggan. Levin yang melihat itu merasa gemas. Di matanya, semua menjadi kacau. Orang-orang di sekitarnya sangat berantakan.
"Jean," panggil Saka, sebagai pembuka kalimat, "apa lo nggak mau berusaha lagi?"
"Berusaha apa?" tanya Jean, dengan ketus.
Saka yang duduk di sofa tampak menggosokkan telapak tangannya karena gelisah. Ia hanya ingin Jean tak menjauh, bagaikan bumi dan bulan, seperti yang pernah Saka katakan. Akan tetapi, Saka menahannya. Sekarang, bukan waktu yang tepat bagi Jean untuk mengetahui perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...