8 - Sebuah Strategi

2.5K 299 127
                                    

"Gue nggak akan biarin lo dalam bahaya."

Kini, pandangan Saka beralih ke pergelangan tangan Jean yang memar parah, merah dan sedikit bengkak. Ia mengeluarkan obat merah dan perban dari tasnya, lalu mulai membungkus luka itu dengan hati-hati. Sesekali Jean meringis kesakitan, tetapi Saka selalu menenangkannya.

"Selesai." Saka menatap bangga hasil pekerjaannya. Tidak terlalu buruk untuk orang yang tidak pernah ikut Palang Merah Remaja.

"Denger Je, luka lo bakal cepat sembuh, soalnya gue yang ngobatin," ujar Saka sambil tersenyum lebar.

Jean merasakan hatinya menghangat. Namun, rasa bersalah juga menusuknya saat itu juga. Mungkin hal ini bisa terjadi karena Jean yang terus menjauhi Saka, sehingga lelaki itu sulit mendapatkan akses untuk melindungi Jean.

Jean menunduk. Rasanya ingin sekali mengutarakan apa yang ada di pikirannya, tentang satu kata: maaf.

Di sisi lain, Saka tengah meneguk air mineralnya. Setelah air mineral yang tinggal sedikit itu tandas, Saka menoleh ke arah Jean. "Je, lebih baik kita nggak jauh-jauh dari pintu. Sini!" perintah Saka kepada Jean, yang sepertinya mulai penasaran dengan barang-barang olahraga yang ada di gudang itu.

"Iya." Jean pun berjalan mendekat. Ia menatap wajah Saka sekilas. "Itu ... luka lo nggak apa-apa?"

Lagi-lagi Saka hanya mengusap ujung bibirnya yang membuat Jean ngilu. "Luka kecil gini doang tinggal dikompres juga sembuh."

"Tapi-"

Ucapan Jean terhenti ketika jari telunjuk Saka tiba-tiba menyentuh bibirnya.

Ya Tuhan, detak jantungnya menjadi semakin tak karuan. Tubuhnya serasa diserang gelenyar-gelenyar aneh yang membuatnya merinding dari bawah ke atas. Saka idiot! Bisa-bisanya ia melakukan itu disaat genting seperti ini.

"Jangan berisik, ada suara langkah kaki di luar," lirih Saka. Ia terus menatap pintu dan Jean secara bergantian. Setelah menyadari sesuatu, Saka langsung menyembunyikan jari telunjuknya di samping badan.

Lelaki itu berpikir keras tentang bagaimana caranya agar ia dan Jean bisa keluar dari gudang itu tanpa menimbulkan perkelahian lagi.

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ide itu melintas di pikirannya. Saka pun mengeluarkan ponsel, yang ditanggapi dengan tatapan bingung dari Jean.

"Buat apa?"

Saka tersenyum penuh arti. "Pemotretan."

"Hah?"

"KELUAR KALIAN BOCAH SIALAN!!!"

Tiba-tiba suara preman itu kembali terdengar, pun semakin dekat. Tanpa sadar, Jean memeluk Saka dari samping, ingin mendapatkan perlindungan dari lelaki itu. Akan tetapi, hal yang tak diduga-duga terjadi. Saka malah mendorong pelan tubuh Jean ke depan, mendekat ke arah pintu.

"Lo di depan," ujarnya enteng.

"Gila lo?!" protes Jean tertahan. Namun, lelaki itu hanya menempelkan telunjuknya di depan bibirnya sendiri, sebagai isyarat untuk diam.

Jean memundurkan langkahnya beberapa kali, tetapi Saka mencekal pundaknya agar posisi gadis itu tetap pada tempatnya. Tak ada lagi cara selain pasrah. Jean pun hanya bisa berdoa dalam hati. Yang didoakannya hanya dua: keselamatannya dan semoga Saka tak bisa kencing sambil berdiri.

Keringat Jean terus mengalir membasahi wajahnya yang pucat, sedangkan Saka bersiap-siap dengan handphone di genggamannya, menunggu preman itu membuka pintu.

"Biarin premannya masuk sampai agak jauh dari pintu, terus lo kabur," bisik Saka sambil memegangi pundak Jean yang bergetar. "Silangin tangan lo di depan dada. Cepetan!"

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang