60 - Catatan Depresi Jean

614 86 16
                                    

Suara gelak tawa terus mengisi ruang tamu itu. Di tengah mereka berserakan banyak mainan, yang rata-rata merupakan mainan anak laki-laki. Namun, Jean tak mempersoalkan. Ia malah asyik memainkan mobil-mobilan berwarna merah itu.

"Mainan kamu banyak ya, Alva," ungkap Jean, "bagus loh!"

Alva tersenyum malu. "Iya, pokoknya kamu harus sering-sering main sama aku."

Keduanya tak sadar ada seseorang yang bersembunyi di balik tembok. Ia mengawasi mereka dengan mata sendu. "Itu mainan punya Angkasa," gumamnya.

Jean tiba-tiba menyodorkan lobster mainan ke depan muka Frei. "Yang ini bagus banget! Jean jadi laper."

"Bawa aja," kata Alva tanpa beban.

Kedua manik Jean melotot, tak percaya dengan ucapan Alva. "Beneran?!"

Pertanyaan Jean itu menghasilkan sebuah anggukan yang membuat dirinya sangat kegirangan. Jean senang. Senang sekali.

"Itu ... juga mainan punya aku," gumam Saka lagi, yang masih belum berani menampakkan diri, karena ia tak mau Jean mengetahui kelemahannya yang lain. Miris. Sebuah kenyataan pahit yang harus Saka rasakan, sehingga lebih memilih bersembunyi di balik bayang-bayang ketakutan.

•ANGKASA•

Saka mengambil lobster mainan yang mendekam di lemari besar ruang tamu keluarga Erlangga. Bentuknya masih sama, tapi sedikit kotor. Mungkin karena terlalu lama bersembunyi. Ah, nasib lobster ini mirip sekali dengan dirinya yang dulu.

"Lo yakin itu punya lo, Sak?" tanya Levin, yang berdiri di samping Saka.

Ternyata Levin tak benar-benar marah perihal Saka yang bertindak seolah-olah tak memiliki rasa apa pun pada Jean. Ia sangat yakin bahwa lelaki ini tak mungkin selabil itu. Padahal rasanya seperti baru kemarin Saka mengaku kepada Levin tentang perasaannya pada Jean.

Saka mengangguk, setelah mendengar pertanyaan Levin. "Bahkan gue inget wajahnya pas bawa pulang lobster ini."

"Gimana?"

Lelaki itu menatap Levin. "Cantik."

Levin refleks menendang paha Saka, membuat Saka meringis kesakitan. "Anjir! Lo kayak lagi muji gue, Sak!" ucapnya, "merinding!"

Desisan kesal keluar dari mulut Saka. "Gue bukan homo."

"Sialan."

"Maksudnya Jean yang cantik," jelas Saka.

Setelah mendengar itu, Levin buru-buru mendesak Saka agar menghampiri Jean yang ada di kamar. Lelaki itu mendorong Saka yang tampak malu-malu, karena selepas sekian purnama, akhirnya ia bisa mengobrol empat mata dengan Jean. Hiks, rasanya lama sekali, sampai membuat Saka ingin menangis.

Saka berhasil membuka pintu yang tak terkunci dengan tangan kanannya, sedangkan tangan yang kiri memegang lobster mainan.

"Jean?" panggil Saka.

"Masuk, bodoh," desak Levin karena terlalu gemas, membuat Saka menggaruk kepalanya karena salah tingkah.

Dengan ragu, Saka pun masuk ke kamar Jean. Masih beberapa langkah, ia terkejut saat mendengar pintu yang dikunci dari luar. Kakinya dengan cepat menghampiri pintu lagi, lalu mengetuk-ngetuknya seperti orang kesetanan. Mengetahui bahwa hal yang dilakukannya sia-sia, Saka menghela napas panjang.

Gue kok merinding, ya? Kayak mau ketemu harimau sirkus, batin Saka.

"Sak?"

Belum juga selesai menetralkan detak jantungnya, suara Jean sudah menyapa indra pendengaran Saka. Ia pun dengan cepat membalikkan badan, tak lupa disertai dengan tampang konyolnya.

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang