Frei memutar musik kencang-kencang di mobilnya. Ia sendiri baru saja pergi dari supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari sesuai pesanan bundanya. Jalanan malam ini sepi, karena ia memilih untuk melewati jalan pintas yang lebih cepat sepuluh menit dari jalanan kota. Sedikit menyeramkan, tapi tak apa, karena ada musik yang menemaninya.
Miris. Seharusnya di umur yang telah menginjak 21 tahun, Frei sudah mengenalkan seorang gadis kepada bundanya. Akan tetapi, untuk masalah menemaninya ke supermarket saja, Frei tak tahu harus mengajak siapa.
Frei merasa tak bisa memulai suatu hubungan serius dengan gadis mana pun. Terlalu sulit. Ia jadi berpikir, bagaimana caranya lelaki di luar sana mendapatkan pacar? Apakah Frei harus sering-sering pergi ke tempat ramai? Atau memesannya melalui deep web? Rasa-rasanya mencari pacar itu lebih sulit daripada mengerjakan skripsinya.
Baru saja dipikirkan, sekarang lampu mobilnya menyorot seorang perempuan dengan gaun putih yang sedang duduk di atas lengan jembatan. Rambutnya tergerai panjang, seperti sosok yang ada di film sejenis Suzanna, Si Manis Jembatan Ancol, atau Kuntilanak. Parahnya, ia baru menyadari bahwa ia sedang melewati jembatan gelap dan sepi. Seketika, Frei pun merinding dibuatnya.
Semakin dekat, semakin jelas pula bahwa perempuan itu bukanlah sosok astral. Entah insting atau apa, Frei merasa ada hal ganjil yang akan terjadi. Ia pun menginjak pedal gasnya, lalu menghentikan mobilnya di dekat gadis itu. Frei berlari menghampirinya, lantas menarik gadis itu agar tak jatuh ke sungai. Refleks, Frei langsung memeluknya, membuat tangis gadis itu pecah di dada bidangnya.
Frei menepuk-nepuk punggungnya, sampai gadis itu merasa tenang. "Bernapaslah," ujarnya dengan suara berat.
Gadis itu pun mengendurkan pelukannya, kemudian menunduk sebentar sebelum menatap Frei. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa gadis itu adalah Jean, satu-satunya gadis yang pernah mengisi kekosongan hatinya dengan sebuah harapan. Jean, teman kecilnya, yang ia tinggalkan belasan tahun lamanya.
Frei menangkup wajah gadis itu. "Jean?" ucapnya, "ini saya, Frei. Maksudnya, Alva. Saya Alva."
Mendengar itu, Jean yang masih tampak kacau, berusaha mengamati setiap jengkal wajah Frei. "Lo ... beneran Alva?"
"Iya, saya Alvano Afreison," jawab Frei dengan senyum lebar. Ia bersyukur, ternyata ia tak salah orang.
Jean tak tampak antusias, tidak seperti Frei yang seakan baru saja menemukan separuh jiwanya yang hilang. Ia seperti kaleng kosong yang tak memiliki emosi. Padahal, di lubuk hati terdalamnya, Jean masih menyimpan sedikit rindu untuk lelaki ini. Cinta pertamanya.
•ANGKASA•
Frei memutuskan untuk mengantarkan Jean ke rumahnya. Ternyata gadis itu tak pindah rumah, tapi ia memang lupa alamat rumah Jean. Jadi, topik yang ada di mobil itu hanyalah tentang arah rumah Jean. Selebihnya, mahasiswa Oxford University itu lebih menikmati detak jantungnya, daripada mengajak Jean bicara.
Setelah sampai di depan gerbang rumahnya, Jean berniat langsung keluar dari mobil itu. Akan tetapi, tiba-tiba tangannya dicekal oleh Frei, sukses membuat Jean menatap lelaki itu.
"Kenapa?" tanya Jean.
"Kamu yang kenapa?" Frei membalik pertanyaan Jean, "kalau ada masalah, cerita sama saya."
"I'm okay," balas Jean dengan nada datar.
"Seriously?"
"You believe that? Actually believe that? Let me tell you what's wrong. Tiredness. That's all. Tired of the loneliness, of getting hurt, tired of life. It's tiring and it's getting harder to hang on."
Frei mencoba memahami masalah Jean. Ternyata, sahabat kecilnya sudah beranjak dewasa. Menurut Frei, kedewasaan seseorang selalu bergandengan dengan masalah-masalah baru. Tak bisa dilepaskan, kecuali memilih ditarik paksa oleh masalah, atau kita sendiri yang menarik dan mengendalikannya.
Frei tersenyum sambil mengelus rambut Jean. "Be strong enough to walk away from what's hurting you, and be patient enough to wait for the blessings you deserve," kata Frei. "Semua orang pasti bakal merasakan happy ending versi mereka sendiri. Kamu, tinggal nunggu gilirannya. Percaya sama saya, Je."
Jean mengangguk, pelan sekali. Mungkin jika Frei tidak sedang mengelus kepalanya, lelaki itu pasti tak akan tahu. "Makasih," ucap Jean.
Gadis itu berhasil menghembuskan napas kerinduan ke lubuk hati Frei, lagi. Sungguh, ia menginginkan Jean.
•ANGKASA•
Saka tengah melampiaskan emosi yang terpendam di dapur rumahnya. Ia memang tak membanting panci, wajan, atau membasahi lantai dengan sabun cuci piring. Namun naas, telur dadar gosong yang tak berdosalah yang menjadi korban. Saka menyakiti telur itu. Memasaknya dengan tak berperiketeluran.
Aneh memang. Kalau tidak aneh, itu bukan Saka.
Setelah itu, Saka duduk sambil menatap telur dadar gosong buatannya yang diletakkan di meja. "Maaf ya, telor dadar. Pas masak, gue anggap lo itu kebodohan gue yang pengen gue musnahin," Saka mengelus permukaan telur dadar tersebut, "makanya, lo tewas dengan luka bakar sembilan puluh persen gini. Sekali lagi, maaf ya."
Berulang kali Saka menyesal atas apa yang telah ia lakukan. Pikirannya pendek, membuat Saka tak memikirkan akibat dari perbuatannya. Ketika penyesalan datang, lelaki itu menjadi gampang frustrasi.
Buktinya, sekarang Saka langsung memakan telur dadar dengan sekali lahap. Tak ada yang tersisa di piring. Hal ini semakin membuat jelas bahwa Saka sedang frustrasi. Ralat, Saka frustrasi, stres, gila, dan bodoh.
Di tengah kefrustrasiannya, Frei tiba-tiba duduk di hadapannya. Mengetahui itu, Saka pun langsung mengunyah makanannya dengan cepat, lalu menelannya paksa.
"Kenapa, Kak?" tanya Saka, "lesu banget kelihatannya."
Frei menatap Saka. "Jean. Gue baru aja nyelametin Jean yang mau bunuh diri."
Tubuh Saka seperti disetrum listrik ribuan volt. Ia melebarkan matanya, tak percaya. "Jean? Dia mau bunuh diri di mana?"
"Dia mau lompat ke sungai," jelas Frei. "Sak, lo nggak tahu kalau dia stres? Atau, kalo gue boleh nyebut, dia depresi?"
Saka meredupkan tatapannya. "Mungkin ... gara-gara gue."
Gerakan Frei terlalu cepat. Lelaki itu tiba-tiba sudah membanting tubuh Saka ke lantai, kemudian menghunjamkan sebuah pukulan ke wajahnya, membuat ujung bibir Saka berdarah.
"Lo apain dia, hah?!" bentak Frei, marah. Padahal, lelaki itu jarang sekali menaikkan nada bicaranya.
Napas Saka berhembus tak teratur. "Gue lagi ada masalah sama dia. Gue nggak berani minta maaf. Gue pengecut!"
Satu bogem mentah kembali mendarat di wajah Saka. Bodohnya, Saka seakan menerimanya dengan senang hati. Ia menganggap pukulan ini sebagai hukuman dari apa yang telah Saka lakukan pada Jean.
Pasti Jean lebih sakit dari ini.
"Kalo lo nyakitin Jean lagi, mending lo pergi dari kehidupan dia," tegas Frei.
"Gue nggak akan pernah pergi."
Frei mengerutkan dahinya. Diam-diam, ia menantikan kalimat Saka selanjutnya.
Dada Saka mendadak sesak. Seperti ada sesuatu yang harus ia keluarkan. Ia pun menarik napasnya dalam-dalam. Tak disangka, embusan napas panjang itu ikut membawa satu butir air matanya. Air bening itu lolos, berani menampakkan diri di hadapan Frei.
"Bukan cuma lo, tapi gue juga suka sama Jean!"
Kalimat itu berhasil membuat Frei bangkit dari atas tubuh Saka. Terlalu mendadak, dan ia tak sempat mempersiapkan hatinya untuk bersaing dengan adiknya sendiri.
***
Saya juga nggak nyangka bisa nulis ini, gara-gara otak mendesak biar cepet kelar. Jangan dihujat pokoknya >.<
Anyway, kritik dan saran selalu ditunggu, yap!
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...