Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa SMA Tirta Negara. Berbagai macam pertunjukan akan memanjakan mata semua orang. Keramaian ini pun nantinya akan membuat lingkungan sekolah semakin hidup. Apalagi jarang sekali sekolah ini membuat acara besar yang melibatkan banyak siswa.
Namun, semua hal tersebut sama sekali tak berhasil menumbuhkan antusiasme Jean. Hari ini Jean harus berangkat pagi-pagi sekali. Diantar Kang Yan sekitar pukul enam, ia datang dengan memasang wajah masam. Bahkan ketika beberapa orang menyapanya, hanya sekadar basa-basi, Jean sama sekali tak membalas satu pun dari sapaan tersebut.
Kini, gadis itu sedang duduk di ruang kelas yang sudah beralih fungsi menjadi ruang transit untuk peserta yang akan tampil. Jean hanya memandangi kuku-kuku jari tangannya dengan gusar, sebelum ada suara seseorang yang mengalihkan perhatiannya.
"Mbak, sini giliran kamu," kata seorang lelaki bergincu merah sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Jean.
Tak ada pilihan lain selain menghampiri lelaki itu dan duduk di hadapannya. Sekarang Jean harus rela jika wajahnya diobrak-abrik oleh lelaki ini. Sebenarnya make up bukanlah teman baiknya, tetapi ia tetap dibutuhkan untuk beberapa alasan.
"Mendongak sedikit ya, Say," instruksi lelaki kemayu itu sambil menekan dagu Jean ke atas dengan jari telunjuknya. Jean yang tengah malas pun mengikuti arahan tersebut dengan wajah ditekuk.
Selesai dengan riasan wajah, giliran rambut Jean mendapatkan sebuah 'perlakuan'. Huft, gadis itu sedikit risih ketika sang perias memasang rambut palsu berwarna kuning keemasan di kepalanya. Benda tersebut menjuntai ke lantai hingga melewati ujung kakinya, sukses membuat kepala Jean berdenyut. Jika ternyata begini, Jean lebih memilih untuk memakai konde saja.
Jean menerima sebuah gaun berwarna fusia yang panjangnya bahkan di atas mata kaki. Masih kalah panjang dengan rambut palsu yang menyebalkan itu. Jean menghela napas berat. Ia berusaha sabar dan berharap hari ini akan segera berakhir.
Sembari membawa gaun, Jean pergi menuju kamar mandi yang sudah disediakan khusus untuk peserta yang akan tampil. Selesai dengan urusan gaun dan telah memasukkan baju miliknya ke tas kecil berwarna biru muda, ia sempat melihat bayangan dirinya di kaca yang tingginya hanya sampai separuh badan Jean. Tidak terlalu buruk, pikirnya.
Jean cepat-cepat keluar dari sana. Sejurus kemudian, ia menyesal karena terlalu buru-buru pergi ke ruang transit.
Saka ada di sana, bersama anak kecil yang Jean tahu merupakan anak dari guru sejarahnya.
Seharusnya Jean pergi, tetapi Tuhan menakdirkan Jean untuk diam di tempat guna menyaksikan apa yang dilakukan Saka bersama anak kecil itu dalam keheningan.
"Kemarin Gabriel ketemu teman, Kak," kata anak laki-laki berumur sekitar tujuh tahun itu, "teman Gabriel yang sudah punya pacar."
Saka yang sedang berjongkok di hadapannya pun terkekeh. "Masa, sih?"
"Iya!" serunya. "Kalau Gabriel sudah boleh pacaran belum, Kak?"
Saka mengelus puncak kepala Gabriel seraya tersenyum lebar. Jean mendecih ketika melihat adegan tersebut. Kebiasaan, batin gadis itu.
"Gabriel masih kecil, jadi belum boleh pacaran dong. Nanti Papa sama Mama kamu sedih," ujar Saka dengan hati-hati. Ia ingin segera membuat Gabriel paham.
"Kalau Gabriel sudah belajar sampai SMP, sudah boleh pacaran?" tanya Gabriel polos.
"Belum, Gabriel."
"Kalau SMA sudah boleh, ya?"
"Belum boleh juga," jawab Saka, jahil.
Gabriel tak habis akal. "Kalau Gabriel sudah jadi raksasa, boleh pacaran, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGKASA
Teen FictionAngkasa, aku akan memberitahukan kepadamu betapa sulitnya mencintai seseorang yang sama selama dua tahun terakhir. Betapa lelahnya aku bertahan dengan sebuah rasa tanpa pengakuan. Ibaratnya seperti hatiku yang berteriak memanggil namanya, mustahil i...