4 - Satu Bagian Puzzle

3.8K 372 187
                                    

"Lo semua masih haus?" tanya Hans yang melihat teman-temannya lesu bagai tak bertulang.

"Pakai ditanya, ya iya lah! Gimana rasanya rebutan minum kayak tadi?" Wendy menunjuk gelas dengan empat buah sedotan. "Rasa-rasanya gue cuma ngemut sedotan!"

Hans menyisir rambutnya ke belakang. Berharap, dengan itu, ia bisa menyegarkan pikirannya. "Santai aja bisa kali, Wen. Gue yang sedotannya diembat sama Damar aja nggak masalah."

Jean hanya mendengarkan. Masih haus. Diam-diam ia berdoa agar ada minuman jatuh dari langit.

"Gimana kalau gue traktir di kafe? Mau?" tawar Hans secara tiba-tiba.

Wendy mengangguk dengan antusias. "Gitu dong, mainnya di kafe. Kan gue jadi semangat."

"Udah hafal gue sama muka-muka jarang piknik kayak lo," ejek Hans, sukses membuat Wendy bersungut-sungut jengkel.

"Ngeselin ya lo!" Wendy pun menoleh ke arah Damar. "Lah! Itu orang balik lagi ngelus-ngelus gitar. Mar, mau ditraktir Hans nih!"

Tiba-tiba Damar meletakkan gitarnya ke pojok ruangan. "Gue nggak ikut deh. Ada pr yang belum dikerjain," katanya, lalu bangkit dari kursinya. "Gue pamit duluan ya. Besok gue ke sini lagi."

"Besok kita nggak ada jadwal, Mar," jelas Hans, siapa tahu Damar melupakannya.

Damar terdiam sejenak. "Hans, besok gue pinjem ruangan ini sehari aja ya?"

Hans mengangguk, mengizinkan. "Besok lo ke rumah gue aja. Ambil kunci."

"Oke, makasih."

Wendy yang biasanya cerewet, saat ini mengunci mulutnya sendiri. Apa gara-gara candaannya tadi Damar jadi lebih murung dari biasanya? Ah, mungkin tidak. Biasanya juga begitu. Gadis itu mencoba memberikan semangat ketika Damar beranjak ke luar dan hanya dibalas dengan anggukan kecil.

Di lain sisi, Jean mengernyit heran. Damar sepertinya sedang menutupi sebuah masalah besar yang ia hadapi sendiri.

Apa salahnya bercerita? Ketika seseorang terikat dalam suatu pertemanan, jangan membuat yang lain menerka-nerka masalah apa yang sedang terjadi. Mereka bukan peramal.

Hans yang menyadari perubahan raut wajah Jean dan Wendy pun merasa tidak enak. "Heh! Jangan kebanyakan bengong. Beresin alat-alat kalian. Nanti naik mobil gue aja."

"Siap bos," jawab Wendy, namun tak seheboh biasanya.

"Bentar, gue mau ganti baju dulu." Jean memungut tasnya, kemudian bergegas ke ruang ganti.

Hans mengangguk. "Gue tunggu kalian di parkiran."

•ANGKASA•

Mobil milik Hans terus melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Ibu Kota. Hari ini jalanan tak begitu macet, pun tidak bisa disebut lengang. Hal ini bisa menjadi kabar baik karena tenggorokan mereka tidak akan bertambah kering.

"Seharusnya kita beli air mineral aja. Nggak usah repot-repot ke kafe," celetuk Jean, menghancurkan keheningan. Sebenarnya ia merasa tak enak hati jika merepotkan Hans seperti ini. Walaupun lelaki itu yang menawarkan sendiri.

Hans tetap fokus menyetir, tak mengalihkan pandangannya dari jalan. "Gue nggak suka beli air mineral."

Tiba-tiba Wendy menyeruak dari belakang. "Gue juga!" Ternyata baterai banyak omongnya telah terisi penuh.

Dahi Jean berkerut bingung. "Padahal air mineral sehat kok, murah juga kan?"

"Tapi Je-"

ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang